Senin, 28 Desember 2009

Cermin

Senja Medinah

Lengang.
Aku bersimpuh di kebun belakang. Di depan batu nisan bertuliskan namamu. Yang sedang bersanding bersama karibmu. Ah, kalian benar-benar sehidup semati. Hanya selang hari engkau menyusul kawan yang lebih dulu menghadap ilahi. Aku iri.

Pilu menyapa.
Celoteh burung perenjak terdengar dari kejauhan. Celoteh yang selalu membuatmu tenang duduk menunggu ilham. Di kursi malas, ditemani buku-buku. Saat sore semacam ini, biasanya engkau sedang minum teh. Bersamaku. Menikmati hembusan angin yang menjadi dingin di ambang sore nan layu.

Tak kan ku ubah kebiasaan itu, Mas. Karena itu, ku bawakan engkau seteko teh tubruk kesukaanmu. Menuangkannya dalam dua cangkir. Menyuguhkan satu untukmu, satu untukku.

Ah, biarkanlah sahabat karibmu, yang juga ditanam di pekarangan ini tertidur. Biarkan aku yang menemanimu sore ini. Kembali menikmati secangkir teh. Bersamamu. Ditemani kudapan yang ku beli dari pasar, siang tadi.

Mas,..
Ah, kau selalu marah saat ku panggil dengan sebutan itu. Tidak egaliter katamu. Tidak menunjukkan kesetaraan. Apalagi, katamu, aku adalah seorang yang berkesadaran, aktifis dan seniman perempuan. Tapi biarlah mas, di hadapanmu, aku tidak egaliter. Bukan untuk menganggapmu superior. Tapi lebih karena aku memujamu. Mencintaimu.

Saking cintanya aku padamu, mas, aku bahkan tak bisa berfikir normal. Bersikap normal dalam mengekspresikan rasa. Normalnya perempuan yang merasa cemburu saat melihat suaminya mengangkangi perempuan lain di sudut ruang meditasi, di semak pohon bamboo dekat sungai buatan, pekarangan rumah. Tempat yang sama, saat kita mengunjungi pucuk-pucuk asmara. Asmara, yang membuatku selalu menanggung rindu. Bahkan rindu itu ada, hingga kini, saat kau telah kembali ke tanah bersama peluh.

Tapi mas, jangan dikira hatiku tak terbakar, waktu ku lihat gelagat perempuan ranum seusia kakak anak perempuan kita, bergeliat manja mencuri birahimu. Aku cemburu. Saat kau membimbingnya mengeluarkan ekspresi terjujur untuk sebuah acting seni. Aku cemburu. Saat bahasa tubuhmu memperhalus gerakannya yang masih kaku disetiap latihan-latihan. Aku cemburu, saat kau memuji keistimewaan seni perempuan itu. Aku cemburu, saat kau tak berkedip melihatnya menari dengan gemulai. Sambil berpuisi. Saat memerankan naskah terbarumu. Yang diilhami kehadirannya.

Dan tak hanya satu perempuan, mas. Tak hanya satu perempuan yang ku ketahui intim denganmu. Bahkan disetiap ada pemain baru, murid baru, matamu selalu awas dan cergas memilih. Hingga suatu ketika aku bertanya, adakah kau juga merasa birahi pada anak perempuan kita yang kini menginjak masa dewasa?

Sungguh, aku marah dan cemburu. Tapi siapalah aku ini, mas. Akupun tak jauh beda dengan perempuan-perempuan tempatmu mencari inspirasi itu. Aku adalah perempuan ketiga dalam hidupmu. Yang kau kawin sebelum istri pertamamu meninggal dunia. Bahkan aku tetap berbagi kamu, dengan istri keduamu. Ah, mas…

Kenyataan ini menamparku. Aku seolah melihat cermin saat melihat perempuan-perempuan itu. Bagaimana aku begitu sangat bergelora mendengar rayuanmu melalui puisi dan naskah-naskah cinta yang kau buat untuk ku atau juga untuk negerimu. Aku juga sumber inspirasimu kan?

Orang bilang, aku terlalu memujamu. Sehingga aku hanya diam melihat tingkahmu dengan perempuan-perempuan muda itu. Bahkan sebagian dari mereka menganggapku bodoh. Aku bukan tidak mendengar gunjingan itu. Ah, persetan dengan rasan-rasan itu. Kalau saja mereka tahu, aku hanya tak tahu caranya marah kepadamu atau kepada perempuan-perempuan itu. sehingga yang bisa ku lakukan hanya bersikap dingin pada perempuanmu yang lain. Bagaimana mungkin aku marah pada cermin diriku sendiri?

Sekarang, ijinkan aku bercerita. Mas, semalam gadis kita bercerita ia berencana menikah dengan laki-laki beristri. Seniman. Usianya lebih dari separoh usia gadis kita. Ah, mungkin kau juga mengenalnya. Ya, kau pasti mengenalnya. Kau pasti mengenal juniormu di kampus dulu, sesama pegiat kampus, pegiat seni, pegiat jalanan…

Gadis kita itu mengatakan betapa ia telah jatuh cinta. Kata cinta itu diucapkan dengan gairah muda yang juga tak bisa ku bendung dulu, kepadamu. Ia bahkan tak takut-takut saat mengatakan padaku. Sama beraninya seperti saat aku bersikeras menentang larangan orang tuaku untuk menikahimu. Dengan getir harus ku katakan, anak kita itu bahkan dengan bangga memamerkan lelakinya padaku. Anak kita itu bahkan tidak meminta ijinku. Hanya memberi tahu, tanpa bertanya apakah aku berkenan atau tidak.

Tentu mas, aku tahu, aku ingat. Kita tidak pernah mendidik mereka inferior di bawah kita. Kita selalu memperlakukan anak-anak kita egaliter. Kita membiasakan mereka tidak harus meminta ijin atas apa yang mereka lakukan. Kita membuat mereka selalu harus bertanggung jawab pada keputusan pribadi dan perbuatan mereka sendiri. Tapi mas, taruhlah aku sebagai sahabat, tidakkah ia seharusnya menghitungku untuk memberikan pertimbangan?

Ah, mas,.. Sebetulnya aku tak pernah tahu harus bicara apa kalau saja gadisku itu meminta. Sejujurnya aku tak tahu harus bersikap bagaimana kalau saja ia bertanya. Inikah karma? Ah, mas. Kau tahu aku tak pernah mempercayai karma.

Aku hanya melihat cermin. Saat tanpa sengaja ku lihat ia sedang memompa adrenalin di bawah rumpun-rumpun bambu samping rumah. Bersama lelakinya. Tempat yang sama saat kau beradu cinta denganku atau dengan perempuan-perempuan lain. Meski aku tetap bernafas lega, ia tak mengambil tempat meditasimu, yang belakangan lebih sering ku gunakan untuk mengenangmu.

Tahukan engkau mas. Saat sendiri seperti ini, membuat rasa cemas lebih cepat datang. Meski aku tak pernah didamprat oleh kedua istrimu, tetapi aku bisa merasakan rasa tidak senang yang bersarang di hati mereka. Terutama oleh istri keduamu. Maka pengalaman itu membuatku was-was, kalau-kalau anak kita didatangi istri pacarnya. Kalau-kalau ia didamprat, seperti yang banyak terjadi di sinetron-sinetron murahan yang malas kita tonton.

Sekarang katakanlah padaku, mas. Apa yang akan kau lakukan atas kenyataan gadis kita itu? Sungguh aku tak mempunyai ide atas cermin retak yang ada di depanku kini.

“Bu,..” Oh, tidak… Mas, haruskah ku tolehkan wajahku pada gadis kita itu. Sementara mataku telah basah dan hidungku penuh dengan iluh,.. “Aku keluar dulu dengan mas Baskoro. Mungkin menginap,” Oh, Mas. Haruskah ku jawab iya? Atau bolehkan aku berkata tidak?

Di sela-sela kangen yang aku rasakan menggunung padamu, ada rasa marah, cemas dan tak nyaman, padamu juga pada diri sendiri, yang siap meledak di hatiku.

_***_

Selembar Bendera untuk Garuda

Senja Medinah

“Nda, semalam aku bermimpi,” Celoteh cempreng gadis kecil berambut sebahu itu meminta perhatian. Aku menoleh sekelebat.

“Oh ya? Mimpi apa?” Tanyaku ikut bersemangat agar antusiasnya tak padam. Aku melihat wajah bulat bermata bening telaga itu sedikit berpikir. Menghentikan sejenak kegiatannya memasang kaus kaki berwarna putih ke kaki kirinya.

“Mimpi rumah panjang yang bunda ceritakan semalam,” Jawabnya menggantung. Aku tahu ini akan menjadi cerita yang sedikit panjang. Ah, anakku itu benar-benar merasukkan dongeng itu dalam benaknya. Aku menunggu. Ia melanjutkan kegiatan memasang sepatu.

Dongeng rumah betang. Tentu saja ini cerita istimewa. Berkisah tentang kehidupan suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Ku ambil dan kuadaptasikan dari serumpun artikel dan film documenter yang pernah ku lihat. Film berjudul Long Life Though The Long House itu rencananya malah ingin ku perlihatkan padanya sepulang sekolah nanti.

“Aku bermimpi punya nenek yang suka bercerita. Bercerita sambil menggumam-gumam seperti yang bunda ceritakan itu. Aku mimpi dia bercerita langsung padaku. Di rumah betang itu,” Celotehnya tanpa mengurangi konsentrasi memasukkan kakinya pada lubang sepatu.

Dalam dongeng yang ku kisahkan semalam, aku bercerita tentang seorang nenek yang sedang dikelilingi gadis belia seusianya. Ditemani bapak dan ibu mereka masing-masing. Nenek berwajah tirus dimakan usia itu sedang bedudu (bertutur / cerita nasehat). Seluruh penghuni rumah panjang yang terdiri dari beberapa keluarga itu mendengarkan dengan hikmad. Ku katakan padanya, tradisi ini masih lestari digunakan orang-orang dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan Barat.

Aku teringat, sempat memperlihatkan peta Kalimantan pada Salma, sebelum memulai cerita. Menunjuk salah satu kawasan bernama Sintang, tempat tradisi itu masih dilestarikan. Salah satu kawasan orang-orang Dayak itu tinggal dan istiadat masih disemai. Selain menunjuk beberapa tempat lain, seperti Ibu Kota Propinsi, Pontianak. Ini strategi pelajaran geografi yang selalu gagal ku nikmati dengan baik, saat di bangku sekolah dahulu.

“Bukannya nenek Salma juga suka mendongeng jika berkunjung ke sana?” Tanggapku seraya meletakkan sarapan pagi untuknya di sebuah meja kecil. Segelas susu panas yang baru saja diperah mengepul dari gelas keramik favoritnya. Gelas keramik buatan tangannya sendiri.

“Nggak Nda, dalam mimpi itu bukan Eyang yang cerita. Tapi orang lain. Nenek yang katanya bunda punya tiga kerut di wajahnya. Yang rambutnya putih seputih salju, digelung ke belakang. Yang kurus, yang suka makan rotan. Tumis rotan. Nenek yang katanya bunda suka bercerita tentang anak-anak yang suka belajar itu,” Suaranya meninggi, bersemangat. Aku mengulas senyum, mengangguk. Ku kira, aku juga sering bermimpi dongeng-dongeng yang sering diceritakan Ibu, dulu. Otak nakalku meloncat, mungkin ia bermimpi makan tumis rotan muda, atau mimpi makan kursi goyang di rumah Eyangnya yang terbuat dari rotan? Hahaha…
***
“Nun, jauh masuk ke dalam hutan. Di sebuah daerah bernama Sintang. Berdirilah sebuah rumah yang sangat panjang. Rumah itu ditinggali sekitar 27 keluarga. Jika satu keluarga terdiri dari 4 orang, maka berapakah jumlah seluruh orang yang ada di rumah itu?” Tanyaku memulai cerita, sambil mengusap-usap kepalanya.

Ah, ia tak kehilangan kecerdasannya meski dilanda kantuk, “Seratus delapan,” Jawabnya. Aku mengecup keningnya, seraya membisikan pujian tak berlebihan untuknya.

“Di rumah bernama Rumah Ensaid Panjang itu, seorang perempuan yang mempunyai rambut serba putih keperakan, di kelilingi oleh anak-anak kecil sepertimu. Perempuan itu memiliki tiga kerut di dahinya. Beberapa kerut lagi di dekat matanya, juga mulutnya. Usianya sekira 65 tahun. Tapi, perempuan itu masih lugas untuk berkisah. Berkisah tentang sebuah hikayat, diantara ratusan dongeng yang sering diceritakan di rumah betang,” Aku melanjutkan. Ia mendengarkan dengan khuyu’.

“Nenek-nenek?” Tanyanya polos. Aku mengangguk. “Tapi, Eyang rambutnya kok nggak putih semua, Nda? Masih legam, bagus banget. Meskipun, Salma pernah nemu ada yang warna putih? Tapi nggak banyak,” Ini distorsi yang akan memperlama proses bercerita. Tapi aku menyukai sela ini. Karena ku kira, ini menunjukkan kecakapannya mengenali sesuatu dan jeli pada sekitarnya.

Serta merta aku akan menjelaskan beberapa hal, mulai dari faktor usia, penjelasan sedikit ilmiah tentang genetika, yang dibuat seringan mungkin atau juga proses kimia yang mungkin dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya telah berambut putih. Ia akan kembali ke topik awal, jika merasa penjelasanku cukup memuaskannya.

“Diterangi sebuah pelita, Berkisahlah nenek itu;

“Lagu ini akan terdengar di begitu banyak pintu.
Di rumah betang Ensaid panjang.
Di halaman depan dan jalan yang panjang.
Saya kasihan dengan kalian semua.
Tapi tak ada yang bisa saya katakan,
hanya melalui bedudu (cerita nasehat) ini saya berbisik,”

Aku memutar instrument Sampe’ Dayak Klasik. Instrument yang didominasi oleh alat musik petik bernama Sampe’ dengan dawai berjumlah tiga atau empat. Sesekali terdengar Kadire turut memberikan daya magis pada instrument yang diperdengarkan. Ku antarkan dia berimajinasi agar memiliki gambaran yang lebih mendalam pada kisah yang ku ceritakan. Saound system yang hanya berada di pojok-pojok kamar dengan volume yang tak terlalu keras membuatnya semakin menikmati cerita. Sejurus kemudian, Ayah Salma ikut bergabung. Turut memeluknya dari arah kanan.
***
“Terus?” Tanyaku tak ingin menyurutkan semangatnya bercerita.

“Terus, dalam mimpi itu tiba-tiba Salma mau diantar sekolah sama Ayah. Tapi Salma menolak. Karena kawan-kawan Salma nggak ada yang diantar orang tuanya,” ia melanjutkan. Kali ini ia beringsut ke meja kecil tempat sarapan paginya.

“Waktu jalan bareng teman-teman, Salma justru malu pakai sepatu. Karena semua teman Salma bertelanjang kaki.” Ceritanya terdistorsi beberapa suap nasi yang meluncur tergesa ke mulutnya.

“Nah, akhirnya, sepatu yang Salma pakai, ku lembar ke angkasa,” Intonasinya meninggi. Ia menghentikan kegiatannya mengunyah omlet dengan potongan sayur dan tomat, demi melanjutkan cerita ini.

“Ternyata, Sepatu itu terlempar ke burung yang sedang terbang. Burungnya persis dengan burung yang dipajang di kelas, di sekolah. Itu lho Nda, burung yang dipajang di atas papan tulis, ada di tengah, sedikit lebih tinggi diantara gambar presiden sama wakil presiden,” Jelasnya bersemangat, sekaligus bingung.

Aku tertegun. Burung Garuda?

“Salmaaaaa, nanti terlambat,” Terdengar teriakan dari arah depan kamar.

“Sebentar yaaaahhh,” Salma ikut berteriak. Segera menandaskan susunya, menyambar tas sekolah dan berlari ke arah depan. Menuruni tangga dengan tergesa. Aku mengikutinya dari belakang sampai di ambang pintu, sebelum akhirnya ia kembali menghampiriku. Mencium pipiku.

“Tolong beri satu ciuman lagi di bibir bunda, Salma. Hadiah dari Ayah,” Lelaki itu mengerling, sambil mengaitkan kaca mata hitam ke sela bajunya. Aku tersenyum menerima ciuman bertubi-tubi dari Salma.
***
“Belajarlah, janganlah kita menjadi orang bodoh.
Jelilah dalam melihat sesuatu.
Pikirkan segala sesuatu dengan masak-masak.
Di tengah rumah aku bercerita, semoga tak sia-sia,”

“Dalam kisah yang diceritakan dengan suara sengau mendengung-dengung itu, sang nenek memberikan nasehat jika anak-anak dayak itu harus terus belajar. Karena jika mereka tidak belajar akan jadi orang bodoh. Anak-anak itu, diminta untuk selalu jeli melihat sesuatu, agar tidak mudah tertipu, selalu berpikir dalam bertindak,” Kisah ini dilanjutkan lelakiku yang kini mengikuti alur cerita. Ku lihat Salma semakin girang ditemani dua pendongeng hebat di sebelak kanan-kirinya.

“Yah, suara sengau itu seperti apa?” Demi mendengar pertanyaan ini, lelaki itu menatapku, bingung. Aku tertawa, sebelum akhirnya kami berusaha mempraktekannya, dengan beberapa catatan, tak boleh menggunakannya untuk melecehkan orang lain atau suaranya tidak benar-benar sengau.

“Kisah ini didengarkan oleh seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah betang itu, selepas anak-anak belajar atau mengerjakan PR dan makan malam. Beberapa orang sambil mengayun-ayunkan adik-adik bayi pada sebuah ayunan yang dibuat dengan sederhana di teras rumah betang itu. Beberapa yang lain sambil membuat kain tenun ikat tradisional,” Ia melanjutkan. Merapatkan selimut yang mulai longgar di badan Salma. Satu tangannya menelusup ke tengkukku.

“Jadi, anak-anak Dayak itu rajin sekolah. Meskipun mereka tak punya sepatu untuk sekolah. Meskipun mereka tak punya seragam merah-putih untuk belajar. Keterbatasan itu sama sekali tak menghalangi semangat mereka untuk berangkat ke sekolah,” Ku lihat matanya sedikit membesar, takjub. “Padahal, jarak rumah mereka dengan sekolah lebih dari 10 kilo meter dari sekolah terdekat. Harus lewat sawah yang becek, jalan berbatu dan tak sedikit yang harus menyeberang sungai,” Imbuh sang Ayah.

“Karena hikayat yang diceritakan sang nenek itu, benar-benar mereka camkan dalam benak mereka,” keningnya berkerut mendengar kalimat terakhir dari ayahnya.

“Nggak capek jalan sepanjang itu? Nggak laper? Sepuluh kilo kan ada 10.000 meter? Kalau sekali langkah anak-anak itu sekitar setengah meter, berarti mereka harus berjalan 20.000 langkah setiap harinya. Kalau pulang pergi, jadi 40.000 langkah.” Tanyanya menggebu, penuh ingin tahu. Aku senang dengan permainan matematikanya.

“Ya Capek. Tapi mereka suka bawa bekal nasi dan lauk seadanya. Mereka tak sempat makan di rumah karena khawatir terlambat di sekolah,” Lelakiku itu menjawab dengan gemas. Mencium pipi Salma berkali-kali. Agaknya Salma sedikit terganggu, meskipun ia tidak menolak ciuman itu. Ku kira, rasa terganggu itu karena ia lebih ingin mendengar keterangan komplit dari dongeng yang baru saja diceritakan.

“Terus?” Tanyanya tak sabar.

“Nggak mau dilanjutin, beri Ayah ciuman dulu,” Ayah Salma pura-pura merajuk. Menggoda Salma yang dililit rasa penasaran. Serta merta ia bangkit dari posisi celentang. Meraih leher Ayahnya dan meluncurkan ciuman bertubi-tubi. Aku tertawa sambil membesarkan bola mata. Mengarah ke bola mata suamiku. Sedikit meresa jengkel. Usahaku untuk membuat Salma tertidur bubar berantakan akibat ulah jahilnya. Dia hanya tertawa sambil mencuri-curi mencium pipiku, tanpa malu di depan Salma.

“Terus, Yah?” Tanya Salma enggan kembali ke posisi tidur. Duduk bersila di hadapan kami berdua. Ia meraih tangan Salma. Memberi gerakan reflek yang membuat tubuh Salma kembali tumbang di antara kami.

“Nah, anak-anak cerdas itu, memakan bekalnya, di separoh perjalanan. Di sebuah jembatan kecil. Membuka kantong anyaman pandan tempat penyimpan nasi dan lauk seadanya. Mereka makan bersama. Tak ada yang saling iri, karena nasi dan lauk yang mereka bawa, nyaris sama. Ikan bakar, seperti patin dan baung, hasil pancingan mereka sendiri. Terkadang mereka melahap ayam dan babi yang mereka pelihara sendiri. Mereka lebih sering berlauk sayuran yang juga ditanam sendiri. Bahkan, nasi yang mereka makan pun hasil sawah sendiri,” Jawaban terakhir ini membuat kening Salma berkerut.

“Enak dong Yah, mereka makannya sama ikan bakar, ayam, babi,… Kita makan tempe sama tahu,” Tukasnya, kritis.

“Eh, tapi kan semuanya dipelihara atau didapat dengan keringatnya sendiri. Ayam dan babi pun disembelih kalau ada ritual persembahan sebelum atau setelah panen. Mereka jarang menggunakan uang. Lebih sering malah makan sayuran. Nah, sayur favorit mereka adalah pojak pusung jaung atau tumis bunga kecombrang dan pojak iyur gai kotok atau tumis rotan muda,” Salma manggut-manggut.

“Kecombrang?” Salma mengulangi pernyataan ayahnya.

“Iya, kecombrang kalau di istilah bahasa Indonesia. Sebetulnya berasal dari bahasa jawa. Kalau istilah orang Sunda disebut honje. Nah, di Sumatera Utara disebut Bunga kencong atau kincug, kalau di Bali disebut bongkot. Dalam bahasa Inggris disebut torch ginger. Tapi intinya, tanaman itu mirip jahe, tetapi bunganya lebih bagus, warnanya merah muda. Sementara buahnya mirip nenas sehingga sering dipakai sebagai asam. Kadang, nenek Salma sering memakai buah kecombrang kalau sedang masak sayur asem,” Jelas sang Ayah.

“Nah, kalau dalam ilmu pengetahuan biologi, Bunga Kecombrang ini, termasuk kelas Liliopsida, memiliki ordo Zingiberales, familinya Zingiberaceae, bergenus Nicolaia, dan spesiesnya Nicolaia Speciosa Horan,” Lanjutku.

“Tumis rotan?” Pertanyaan itu telah diucapkannya dengan mata terpejam dan bergumam. Sejurus kemudian, ia telah pergi ke alam mimpi.
***
Aku melihat layar selularku, seusai siaran pagi; Solusi cerdas bagi perempuan cergas! Ada sebuah pesan masuk, saat aku beranjak dari kursi dan keluar dari studio. Tak sengaja membentur tangan kanan Damian, penyiar berikutnya. Penyiar berusia 23 tahun yang membawakan acara jazzy jazz itu membuatku betah di kantor satu jam lebih lama. Selain karena aliran musik yang dibawakan, aku juga menyukai informasi yang disisipkannya dalam setiap siaran, tentang lagu-lagu jazz.

Ah, meskipun aku mengaku penyuka jazz tapi aku tak pernah tahu jika awalnya musik jazz lahir dengan dasar Blues. Kemudian pada sekitar tahun 1987 mulai dikenal bentuk Rag Time, yang pada waktu itu berupa permainan piano di bar-bar. Blues dan Rag Time berkembang menjadi Boogie - Woogie. Bentuk-bentuk tersebut selain merambah pada jalurnya sendiri, juga berkembang menelusuri perjalanan musik jazz. Aku tak pernah tahu tentang itu, sampai mendengar informasi yang disampaikannya. Yang aku tahu, musik jazz hanyalah berasal dari Amerika Serikat sekitar tahun1868.

Yang ku tahu hanyalah beberapa musikus atau penyanyi yang terkenal di dunia jazz, seperti Syahrani yang memiliki kualitas vocal yang ok, Tompi seorang dokter muda dengan improvisasi yang full, Glenn Fredly, Maliq & D’Essentials, Bunglon, January Christy, Dian Pramana Putra, Ermi Kulit, Mus Mujiono, Fariz RM, Gilang Rahamdhan, Indra Lesmada dan ayahnya almarhum. Atau juga beberapa penyanyi jazz barat seperti Norah Jones, Nat King Cole, Al Jareau, Diana Krall, Michael Frank, Boby Caldwell dan juga Manhattan transfer, atau Lee Ritenour. Sementara bagaimana mereka ada, berkenalan dengan musik jazz dan memberi jejak di dunianya, aku tak pernah tahu. Sampai mendengar ceramah ringan dari Damian.

Aku membaca pesan: Tadi Salma minta aku tidak lagi mengantarnya ke sekolah.

Segera ku pencet tombol OK untuk menjawab SMS itu melalui telephon.

“Sayang? Sudah selesai siaran? Atau masih mendengar penyiar pujaanmu itu mengulas tentang jazz?” Sapa suara di seberang. Sepertinya dia sedang berada di rumah. Suara riuh lima ribu ekor ayam menjadi backsound suaranya. Aku mengangguk, lupa jika kami terpisah oleh ruang. Sekaligus tergelak menyadari tambahan kalimat terakhirnya. Sedikit tersanjung. GRku, dia sedang bermain-main dengan jawaban berbahayaku. Untuk menyakiti dirinya sendiri; Jealous. Haha,…

“Tidakkah dia menceritakan tentang mimpinya padamu?” Tanyaku setelah memperbaiki jawabanku atas pertanyaan yang hanya ku jawab dengan anggukan tadi. Ia berkata seperti menggumam. Sedikit tak terdengar karena kokok ribuan ayam itu lebih ribut daripada suara tenornya. Ku raba, ia bertanya tentang isi mimpi Salma.

Ku ceritakan mimpi unik Salma. Tentang rumah betang dan lemparan sepatu mengenai burung garuda. Terdengar suara oh, saat aku mengakhiri ceritanya. Dalam pembicaraan itu, aku baru mendengar informasi jika siang kemarin, saat aku menggantikan siaran siang kawanku, mereka, Salma dan Ayahnya, menyaksikan film documenter: Indonesiaku di Tepi Batas (My Indonesia at The Edge of Border).
***
Berjalan tertatih. Sendiri, menyusuri hutan. Dengan sebatang tongkat sebagai penyangga badan yang telah bergeser tiga puluh derajad ke arah depan. Kulitnya yang telah layu dibiarkan dikibas lambaian angin dari tanaman keras yang masih tersisa. Kulit itu membungkus sekerat daging yang masih menempel pada tulang. Matanya yang tidak lagi awas sesekali menyandung kerikil atau juga akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah. Ia berhenti. Sesekali istirahat melepas lelah dengan menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar. Sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Menerobos perbatasan.

Perbatasan itu hanya ditandai sebuah patok, pada sebuah ceruk yang nyaris tak terlihat. Sungguh aneh, pikirnya. Karena perbatasan ini bukanlah sekedar batas desa atau kecamatan. Tapi ini batas antara dua Negara. Ia hanya menggeleng. Sambil membayangkan bagaimana wajah Negara saat mebahas tentang Ambalat atau Sipadan dan Ligitan diakui Negara lain.

Tapi ia merasa beruntung, karena batas itu tak disertai kawat berduri atau penjaga perbatasan. Kalau tidak, maka ia merasa akan lebih menderita lagi. Betapa tidak, usianya yang telah renta tak menggerakkan hati para dokter atau penjaga kesehatan di puskesmas desanya tergerak untuk sekedar mengobatinya. Sehingga ia terpaksa berjalan lebih dari 8 jam untuk menerobos perbatasan dan memohon pengobatan gratis di sana. Ah, ia hanya berpikir, ingin mati dengan cara yang lebih baik, jika Tuhan memang memanggilnya. Tidak dalam kondisi mengerang saat meregang nyawa.

“Saya harus berjalan sekitar 8 jam untuk berobat ke Negara tetangga. Sebab puskesmas yang ada di desa kami sering tutup karena dokter yang tidak datang,” Mata tua itu tak kehilangan semangat untuk hidup. Setidaknya itu terpancar dari usahanya pergi berobat meski harus menempuh jarak berpuluh kilo meter.

Mata bening itu tak berkedip. Melihat setiap adegan yang terekam dalam film documenter karya seorang sineas spesialis film documenter, Deny Sofyan, sahabatku. Sesekali berkomat-kamit seperti merapal mantra. Atau menghafal kata? Ia hanya bergerak dari posisi tiduran di pangkuanku ke posisi duduk. Meski kepalanya tetap menyandar di dadaku. Sesekali ku hapus keringat yang menetes dari keningnya. Kemarau kali ini terasa lebih panjang. Entahlah, mungkin karena badai elnino yang banyak dibicarakan pakar itu. Atau juga karena manusia telah melupakan jantung mereka hingga terus membalak secara liar.

“Sebagaian besar masyarakat yang tinggal di perbatasan belum sepenuhnya mengetahui bahwa mereka bagian dari wilayah Indonesia. Baru kemarin, di bulan Agustus, saat dikibarkan bendera merah putih, mereka baru sadar jika merekapun Indonesia. Tapi, saya kira kalau sekedar bendera tidak bisa mensejahterakan masyarakat,” Ujar seorang Perangkat Desa di Sintang.

Gadisku itu, tampak sangat meresapi cerita. Matanya semakin berbinar saat melihat gumpalan awan yang bergerak begitu dramatis di langit Borneo bagian barat. Mata itu juga berkaca-kaca saat melihat anak-anak sekolah seusianya bertelanjang kaki dan hanya sebagian kecil yang mengenakan seragam. Mimiknya juga berubah miris manakala melihat sang saka merah putih yang telah pudar warnanya dan tercabik tinggal separoh, berkibar ditiup angin, pada sebatang bamboo yang dipancang di atas pohon.

“Yah, orang-orang diperbatasan masih menyedihkan begitu. Tapi kenapa pak polisi sama om-om di KPK meributkan soal siapa cicak, siapa buaya? Memangnya Cicak sama Buaya musuhan ya, Yah? Padahal, dalam sejarah rantai makanan kan, mereka tidak tergabung dalam satu lingkaran? Buaya bukan predatornya cicak kan Yah? Terus kenapa semua orang jadi pada ribut saling membela atau mencerca Cicak atau Buaya?” Tanyanya dengan mimic inosens beberapa saat setelah ucapan terima kasih muncul di layar laptop. Saat itu, aku kehilangan kata untuk menjelaskan pertanyaan kritisnya
***
Siang yang pekat. Panasnya menyengat hingga menembus pori-pori. Aku memasuki pelataran halaman sekolah Salma dengan penuh tanda tanya. Sebuah surat memanggil kami untuk segera menemui guru Salma. Saat kami masuk ke ruang guru, seorang guru setengah baya menunggu.

“Saya mengundang bapak dan ibu untuk menunjukkan PR menulis puisi yang ditulis Salma,” Suara lembut keibuan itu keluar dari bibir tipis sang guru. Mengawali pembicaraan serius, setelah beberapa saat berbasa-basi. Keningku berkerut. PR? Aku menoleh. Suamiku juga sama tidak mengertinya.



Selembar Bendera untuk Garuda

Karya: Salma Andalucia

Bunda, apakah kita sudah cukup merasa Indonesia
Hanya dengan selembar bendera?
Sementara kawan-kawanku di perbatasan bertelanjang dada
Hanya untuk belajar Bahasa.

Ayah, apakah kita sudah cukup merasa Indonesia
Hanya dengan seekor burung Garuda?
Sementara seorang bapak tua hampir melata
Hanya untuk merasa sehat sentosa.

Tapi, pak polisi dan om KPK itu,
Masih Ribut urusan Cicak dan Buaya
Yang sebetulnya tak pernah bertemu
Dalam satu lingkaran rantai makanan

Ah, aku tak mengerti dengan pikiran orang dewasa,
Yang mengaku cinta Negara tapi tak pernah berpikir tentang manusia.

Aku tertegun. Membaca larik-larik sajak yang ditulis jagoan kecilku itu. Tak bisa ku gambarkan perasaanku kini. Antara bangga, miris, sekaligus merasa tertampar. Ku lirik, Ayah Salma pun terpekur. Sebelum berkomentar pada sang guru.

“Saya kira, anda adalah seorang guru. Dan anda lebih tahu apa yang harus dilakukan,” Ujar ayah Salma yang diikuti dengan longo sang guru bahasa Indonesia. Dalam hati, aku bersorak.
_***_

Minggu, 25 Oktober 2009

Tunggu Aku,...

Saatnya kembali berlayar,
Menjemput cinta yang kau tambat di ujung tenda.
Tenda yang terpancang tegar
Di kaki Gunung, dekat telaga.

Tunggu aku,
yang masih ingin bermain bersama paus dan kuda laut,
yang masih ingin berenang di antara terumbu, dunia laut,
masih ingin melihat raut senja dijemput kabut.

Sehari lalu aku merasa tak kan merindu padamu.
Sebab samudera ini berisi penuh dengan tetesan cintamu.
Bergelombang harapan, berombak kesetiaan
Menghempas angkuhnya karang rasio,

Di atasnya, camar laut menari ikuti angin yang mengusung bayangmu.
Diiringi mega-mega yang melukis senyummu.
Matahari bahkan mengirimkan mimpi hangatmu
Gerimis pun menitikkan damai matamu.

Aku begitu menikmatinya,
Sampai senja terlelap di ujung malam.
Sampai bintang mengisyaratkanku pulang.
Sampai sepi membuatku cekam.

Tunggu, tunggu aku.
Aku tahu, sudah saatnya berlabuh.
Sampai waktunya membuang sauh.
Kembali ke tanah bersama peluh.

Jibril & Malik

Tiba-tiba aku ingin menangis,
Menangis tersedu.
Tanpa ku tahu apa yang membuatku ingin,
Tapi kesedihan mencabik2 tawa yang ku mulai sejak pagi tadi.

Tuhanku, aku hanya ingin mati,
setelah semua ku anggap selesai.
Tapi, belum lagi ku luruhkan inginku,
Kau malah mempertemukan ku dengan
(entah) Malaikat Jibril yang ingin memberiku Wahyu
(ataukah) Malaikat Malik yang tak sabar menyiksaku.

Jibril entah Malik itu,
Memberikan tanah yang begitu gembur
Laut yang begitu kaya, langit yang begitu biru
Tapi, bau darah tak mau hilang dari indra cium ku
Tapi Kelaparan tak mau lekang dari indra rasa ku
Bahkan penindasan mencabik persis depan indra lihat ku.

Jibril entah Malik itu,
juga menjanjikan hidup padaku
berjuta senyum, berlimpah tawa
dengan ilmu seluas samudra
pada sebuah rumah dengan banyak pintu dan jendela
tapi pintu dan jendela itu tertutup, terkunci rapat
hingga aku nyaris kehabisan oksigen di dalamnya
hingga aku tersesat di dalamnya,
dan tak menemukan ventilasi untuk sekedar bernafas.

Tuhan, kalau Kau menghukum ku hidup
karena aku ingin mati,
maka berikanlah 1000 alasan,
mengapa aku harus hidup.
agar aku tak lagi berpikir untuk mati.

Menunggu Isyarat

Dialah bintang berkelebat,
yang hadir sehari sebelum Bapak Bani Izrail dibakar raja Namrud.
yang bersinar terang terpendar
setelah itu hilang di balik kelam malam.

Dialah bintang berekor,
yang membuat lelaki Shalih bernama Noah gelisah
sebelum membuat bahtera untuk menyelamatkan makhluk beriman
dalam banjir bandang di tengah ladang kerontang

Dialah bintang jatuh,
yang tersungkur sebelum Musa membelah laut merah
dan menenggelamkan 'tangan besi' Fir'aun

Dia, selalu datang sebagai pertanda.
Penanda kehidupan harus berubah.
perubahan yang datang setelah penderitaan yang panjang

Aku menunggunya,
di sela gelisah tanpa jeda saat malam semakin pekat
Menjemput fajar, menyingsing pagi bersama matahari.

Aku menunggunya,
diantara kemarau disertai bara dan pekat asap yang membutakan pandang kami,
diantara semburan air beracun yang menggusur rumah kami,
diantara tangis kemarau yang merusak tanaman kami,
diantara geliatan bumi yang meluluh lantakkan kehidupan kami.

Tapi dia belum datang.

Tuhan, Namrud di sini, Fir'aun kembali,
sambil tersenyum, sedang melanggengkan kekuasaan tanpa ingat jujur
sambil tertawa, sedang membuatkan kuburan bagi jelata di kubangan lumpur
berpura-pura menahan lapar tanpa peduli kelaparan terus menggempur

Aku hanya menginginkan pertanda itu datang,
lewat revolusi dan demokrasi.

Saat Senja Sesaat

Senja selalu tampak indah di lihat dari tepi pantai, sayangku.
Beragam warna terpendar seiring berjuta rasa yang melingkupinya.
Eksotisitas yang ditampilkan satu pantai berbeda nuansa dengan pantai yang lain.
Tapi tahukah kau, apa yang membuatnya begitu beragam, indah dan tak terlupakan?
Dialah Samudera (Laut) yang memantulkannya.

Lalu jawablah, mana yang menurutmu lebih penting,
Matahari sebagai Cahaya, atau Samudera sebagai pemantulnya?

Tentu saja Matahari yang merupakan sumber cahaya, kekasihku.
Tapi, berhati-hatilah,
Karena kau akan terbakar terlumat habis karena energi yang ditimbulkannya.
Ia terlalu pongah untuk kau rengkuh, kau miliki sendiri.
Karena ia sumber kehidupan.

Tapi tidak dengan samudera, belahan jiwaku.
Karena ia hanya memantulkan cahaya.
Kau akan tetap merasa hangat tanpa harus terbakar.
Kau akan menemukan palung-palung hati
yang kan membuatmu tenang saat waktunya terpejam.
Dan telah ku sediakan taman bermain di dalamnya,
Berteman gemintang laut, ikan-ikan dan terumbu.

Jika matahari adalah mimpi yang kau rindukan.
Maka Samudera adalah realita yang tak membuatmu kehilangan apapun.


*Dalam hati aku berkata: Tidak Cintaku,
Matahari tidak lebih penting dari Samudera, tidak juga sebaliknya.
Sebab keduanya berkolaborasi
membentuk momentum senja yang indah, yang berbeda.
Ya, senja itu hanya saat, momentum.
Tidak nyata, hanya ada,...

MenghadapMu bersama Peluru

Tuhan, aku datang menghadapMu.
Dengan seperangkat bom memeluk erat tubuhku,
yang tak sempat berontak luluhkan ragaku.
Serdadu-serdadu itu mengantarkan satu peluru.

Tenanglah, semua tak akan meledak di hadapMu hanya, jika Kau mengatakan Kun.
(Ah, aku terbiasa ditakuti meski mereka tak menyimakku dengan khusyu)

Tuhan, aku datang mengetuk pintuMu,
Dengan semangat heroisme yang tertulis dalam ayat-ayat suci.
Menegakkan tiang-tiang penegak hidup yang hampir roboh ditiup Kapitalisme.
(Ah, aku terbiasa dibenci meski bukan Nabi)

Tuhan, aku tak menyesal Kau sampaikan aku di dunia ambang, sore tadi.
Meski ku rasa masih ada yang belum selesai,
Belum pula sempat ku ucap maaf bagi syahid yang turut terenggut maut
bersama tentara-tentara pemimpi syurga privat.

Aku belum juga menggunakan hak jawabku
Pada kuli-kuli pemburu berita itu
Yang telah berselingkuh dengan artis-artis publikasi
pahlawan-pahlawan gadungan yang mengatasnamakan demokrasi.

Aku belum juga membuat konfrensi tandingan
Betapa syurga begitu indah jika dirasakan bersama,
tidak hanya mereka atau kita, tapi semua, semua.

Betapa mereka telah dibutakan senyum peradaban
Yang tercipta justru untuk menggusur kemanusiaan.

Ah, biarlah hak jawab itu ku sampaikan di hari perhitungan nanti.
Biarlah pledoi itu ku bacakan di pengadilanMu nanti.
Biarlah permohonan ampun ku haturkan di hadapanMu nanti.
Sekarang biarkanku terlelap, meski tergusur di tanah lahirku sendiri.

Pergilah, Bersemayamlah dalam hangat.

Yang dicinta kan pergi,
Yang didamba kan hilang.
Ini hanya masalah waktu, saat nyawa meregang,
Tak ada yang abadi.

Ini memang bukan masalah waktu,
Entah esok, lusa atau sekarang.
Tapi bagaimana cara tuk pergi, tuk menghilang.
Didebur ombak, dihantam gedung, atau juga dilumat gunung.

Meski semua cara selalu menghadirkan tangis,
Tapi seharusnya ada cara yang lebih baik,
agar pilu dapat terkikis.

Ini memang bukan urusan waktu,
Tapi bagaimana cara mengantisipasi,
agar pergi dengan manis, meski tetap tangis.

Ini bukan soal menolak takdir.
Tapi bagaimana cara menjaga bumi,
agar pergi dengan haru, meski tetap kelu.

Pergilah dengan damai, kawan.
Istirahatlah dengan tenang.
Biar kami yang bertanya kepada negara
yang menguasai bumi, air dan kekayaan di dalamnya
yang telah mengurusnya dengan baik sehingga murka melumat kalian.

Tidurlah dengan nyenyak, sahabat.
Bersemayamlah dalam hangat.
Biar kami yang menuntut kepada negara
yang telah berjanji menjaga anak-anak telantar yang kau tinggal
telah memberi tempat terbaik sehingga bertebar di jalan raya dan ketidakpastian.

Pengakuan,..

Kepada Maha Cinta dan Cipta, yang menjadikanku penanda kehidupan,
yang menjadi sasaran kemarahan saat semua tak sesuai inginku,
Sujud ku memohon ikhlas Mu memaafkanku.

Kepada Bunda tempat mengadu samsara,
yang menjadi sasaran kekesalan saat kesabaran tak sedang menyentuh ku,
Ciumku di kaki mu memohon ikhlasmu memaafkanku.

Kepada Matahari inspirasi cita-cita,
yang menjadi tumpuan kesalahan saat asa tak lagi merengkuh ku,
Tunduk kepala ku memohon ikhlasmu memaafkanku.

Kepada kekasih tempat berbagi cerita dan derita,
yang menjadi tumpahan keraguan saat percaya tak lagi yakinkan ku,
Luruh ku di pundak mu memohon ikhlas memaafkan ku.

Kepada jelata yang belum sempat ku seka tangisnya,
yang menjadi pijakan prasangka saat dunia terasa sendu bagi ku,

Kepada karib-kerabat serta sahabat yang belum sempat ku dengar keluhnya,
yang menjadi tumpahan emosi saat beban terasa di pundak ku
Maaf ku, maaf ku, maaf ku,
memohon ikhlasmu, memaafkak ku...
Di ujung ramadhan pembuka fitrah...

[Berbagi Mimpi]

Aku membuka mata. Saat sentuhan hangat terasa di bibirku. Ku lihat mata sipit itu sedang memandangku. Memberikan seulas senyum. Senyum yang renyah. Mengembang menjadi tawa, tanpa suara. Tawa yang juga renyah itu menyirat kalimat selamat pagi. Aku juga tersenyum. Merapatkan tangannya yang masih melingkar di pinggangku. Mendekapnya dengan erat. Dan berbisik, selamat pagi,…

Pagi ini berbeda dengan pagi kemarin. Di tempat tidur ini, aku tak lagi sendiri. Ada dia yang telah mengucap sumpah di hadapan Tuhan. Untuk bersama, berharap selamanya.

Di luar, kabut tipis sisa hujan semalam masih menempel pada jendela kamar kami. Aku beranjak setelah kami menekuri satu kegiatan yang akan menjadi ritual kami, pada pagi-pagi berikutnya. Menyingkap gorden. Membuka jendela. Menghirup oksigen beberapa jenak. Menyapa anggrek yang tertengger di pohon mangga, digoda seekor burung. Menyapa rumput hijau yang tampak segar, basah.

Aku berbalik ketika ku lihat dia keluar dari kamar mandi. Mengganti posisinya. Bersuci. Untuk mengucapkan syukur di awal pagi yang istimewa ini. Syukur yang tak lagi ku sampaikan sendiri. Setetes embun diam-diam meleleh dari ujung mata, sesaat setelah mengucap amiiin,…

Senyap yang terjadi beberapa menit sebelumnya mulai bertransformasi. Seiring berdentumnya suara Koil menyanyikan lagu perang! Aku tertawa sambil menggeleng. Inilah perbedaan kedua setelah aku bersamanya. Memang tak selalu lagu rock. Kadang malah slow, mellow. Yang tak pernah ku dengar dia memutar lagu dangdut. Kalau otak nakalku berpikir, mungkin dia masih gengsi, haha… Akan selalu ada music menemani kami mengawali pagi. Dimulai ketika matahari masih malu-malu menyembul di diantara pohon kelapa, di kejauhan sana.

Mendengar teriakan Koil itu, asyik juga. Menyapuku seperti ada nada dasar yang harus diikuti. Tertata rapi dalam tujuh not tangga nada. Ah, tidak. Diantara tujuh not yang ada dalam alat musik, ku kira Koil tak menggunakan not Re dan Fa. Sementara Do dan Re digunakan pada not-not tinggi. Kepalaku mengangguk ke kanan ketika sapu itu ku arahkan ke belakang. Mengangguk ke kiri ketika sapu itu mengarah ke depan. Seorang tetangga terlihat tersenyum-senyum menahan tawa saat melintas di depan pintu yang baru saja ku buka. Mungkin ia melihat ku berjingkat-jingkat tak karuan.

Aku melempar senyum. Mengangguk. Iapun tersenyum. Juga mengangguk. Hari ini, hanya bahasa tubuh itu yang bisa ku berikan. Aku khawatir menyinggung tetangga yang belum ku kenal itu jika aku menyapa dengan bahasa Indonesia. Ah, seharusnya tidak seperti itu. Seharusnya tetap ku sapa dengan bahasa. Tapi, aku terbawa steriotipe di kampungku. Tak baik menyapa orang yang lebih tua dengan bahasa Indonesia. Dikira menghina. Sebab mereka tak berbahasa Indonesia. Meski aku tahu, aturan itu hanya mengada-ada. Entahlah, besok aku akan memperbaikinya.

“Sayaaaaaangggg, telurnya di mana?” Teriakan itu keluar dari arah dapur. Aku tergopoh begitu ku selesaikan sapuku. Pagi-pagi berikutnya, aku tahu teriakan itu untuk mengajakku masak bersama. Ia lebih sering menjadi koki utama menyediakan sarapan pagi. Tak jarang juga aku. Meski tak banyak resep yang aku tahu, dan harus mengganggu umi yang sedang bersiap untuk mengajar di TK.

“Catatlah resepnya, biar nggak telpon terus,” Keluh umi, berpagi-pagi berikutnya. Sambil tertawa ku katakan, “Tak, lah. Kan umi masih sehat. Dan akan selalu sehat,” Aku tahu perempuan itu sedang menyimpul senyum.

“Tuh, susunya. Diminum dulu,” Sapanya ketika melihatku masuk. Tanpa melepas perhatiannya pada bumbu-bumbu yang sedang ditekuninya. Aku melihat dua gelas susu sudah tersedia di meja. Mengambil keduanya. Menyorongkan salah satunya. Ia menggeleng. Aku mengerutkan kening, sambil tak melepas senyumku. Ia tak menyerah, hanya memonyongkan bibir. Aku tertawa. Berusaha membantunya meminum susu hangat itu tanpa tumpah.

“Masak apa hari ini?” Tanyaku penasaran.

“Ada deh,” godanya. Aku berusaha tenang, berpura-pura tak tertarik pada jawabannya. Membuka panci yang telah dibakar api.

“Bisa bikin bubur ayam?” Tanyaku penasaran.

“Kalau nanti ketagihan, mau diapain?” Godanya lagi, sambil tertawa renyah. Ah, tawa itu yang pertama kali ku lihat saat perjumpaan pertama kami di Djogja dulu.

“Mau diapain coba?” Tantangku sambil mencubit pinggangnya. Membantunya menyiapkan beberapa peralatan makan.

Dapur ini terletak di luar rumah. Di belakang tepatnya. Beratap jerami. Bentuknya semacam gazebo. Terbuat dari bambu. Bangunan ini sengaja dibuatnya untuk memberikan pandangan yang luas pada halaman belakang rumah kami. Halaman yang dipenuhi dengan berbagai tanaman. Beberapa jenis sayur, tomat, cabai, beberapa pohon keras. Semuanya, adalah hasil dari tangan dinginnya. Jauh terlihat setelah pepohonan itu, tampak sawah terhampar luas.
Di dapur ini, tempat kreatifitasnya dimulai. Dimulai dari sebuah masakan. Masakan yang aku tahu akan menjadi favorit pengisi perut ku bertahun-tahun kemudian. Berawal dari kecintaannya pada tanaman. Yang membuat hidupku semakin teduh dan damai. Kalau syurga itu seindah batas pikiran masing-masing manusia, maka ku kira, ia sedang membangun syurganya di rumah ini. Yang paling menyenangkan, ia mengajakku untuk membuat syurga itu. Bersamanya,...
“Lho, piringnya kok cuma satu?” Ia mengerutkan dahi saat melihat hanya ada satu tempat untuk menampung bubur ayam yang dibuatnya.
“Kan makannya bubur,” Jawabku. Bahu dan alisnya mengangkat.
“Disuapin, dong,” Jawabku cuek, berusaha tak melihat matanya. Malu.
“Idih, manja,” Aku tertawa.
“Salah siapa masak bubur? Jadinya ya harus disuapin,” Kataku bersorak. Ia mengusap kepalaku sebelum melekatkan bibirnya di pipiku. Kecupan ini mengantakanku pada khayalan saat telephon-telephon panjang ritual kami, dulu. Saat ia berkeliling Indonesia. Ku rasa wajahku mulai berubah warna.
Pagi ini dan pagi-pagi selanjutnya akan menjadi awal yang menyenangkan untuk memulai hariku. Hari kami. Banyak tawa yang diciptakannya. Banyak senyum yang diulasnya. Banyak harapan dan semangat yang yang akan kujadikan bekal pada siang hingga menjelang sore, saat kami bertemu kembali.
Di siang hari, kami lebih banyak menjalani aktifitas kami masing-masing. Aku dengan kegiatan reportase atau kegiatan kampus yang mulai ku tekuri kembali. Dunia yang ku impikan, di mana aku merasa lebih hidup karenanya. Meski pada perkembangan selanjutnya, aku sadar juga menemukan hidup saat menjadi seseorang di sampingnya. Sementara dia, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menulis atau bercumbu dengan alam.
Ini akan berbeda saat pagi di hari sabtu dan minggu. Kami akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Menemaninya menulis atau pergi ke kebun. Atau juga pergi ke rumah orang tuanya yang kurasa, ini GRku, juga menyayangiku. Haha,.. atau juga lebih banyak sekedar jalan-jalan menyusuri sudut-sudut toko buku dan sejumlah komunitas.
Semua kegiatan itu, memberiku suasana berbeda. Menemaninya ke kebun misalnya, membuat aku semakin meng-hikmad-i kecintaannya pada bumi dan kehidupan yang sedang berjalan di atasnya. Menemaninya menulis, membuatku semakin menekuri kedalam hatinya, kejujuran rasanya bahkan keliaran otaknya menjelajahi dunia yang tertuang dalam kata dan frasa. Banyak ide yang orisinil keluar dari kepalanya. Meletup-letup, membuncah, memuncak, dan hingga meleleh pada kalimat-kalimat yang tercipta dari kelincahan sepuluh jarinya. Sementara pergi ke rumah mamah, banyak rahasia yang ku dapat tentang,… RAHASIA! Hahahahah….
Di suatu sore, entah kapan, aku melihatnya menunggu ku di depan pagar beluntas, rumah kami. Berkaos oblong tanpa lengan, bercelana pendek, bersendal jepit, tapi berkaca mata hitam. Rambutnya yang hitam ikal hampir menyentuh bahu, basah. Beberapa anaknya menutupi dahi, disapu angin.
Kalau Angelina Jolie mengatakan hanya Brad pitt yang bisa membuatya terjatuh dalam kubangan cinta, maka sore ini, jantungku berdesir. Seperti gadis SMP yang sedang melihat kakak kelas idolanya bermain basket di halaman sekolah atau memetik gitar dalam acara gelar seni. Apalagi, saat ia dengan sengaja membuka kaca matanya saat melihatku mendekat. Rasa yang begitu orisinil. Rasa yang terus ada seperti saat aku menyadari pertama kali telah jatuh cinta pada sebuah percakapan di telephon. Yang sebelumnya tak pernah ku percaya itu ada dan bisa.
Ia sudah berada di atas vespa. Memintaku segera naik. Aku yang baru saja datang tergopoh menaikkan sepeda ke dalam sebelum melompat ke boncengannya.
“Kumaha?” Tanyaku sambil menyusuri jalan berbatu depan rumah kami.
“Damang,” Jawabnya pendek.
“Maksudku, mau kemana?” Sambarku sambil nyengir. Ia tertawa mendengar pengakuan sok tahuku.
“Pacaran,” Jawabnya cuek. Sekali lagi, desir itu berhembus lembut di tampuk hati yang ikut bergoyang-goyang. Menembus sore di kota pertama propinsi ini. Atau pada sore berikutnya, berjalan di setapak pematang tanpa alas kaki. Atau pada sore lainnya, berlari kecil justru menjauh dari rumah, diantara derasnya rinai hujan.
“India banget,” Pernah suatu ketika ia menggerutu saat aku mengajaknya mandi air hujan. Tapi, ia tetap menikmatinya sambil menyiramku dengan Lumpur. Berlari menghindar saat aku hendak membalasnya.
Malam harinya, kami bersin bersama. Mengutuki sikap kekanak-kanakan sore tadi hingga menyebabkan kami flu. Tapi akan terulang pada musim hujan berikutinya. Haha…
Begitulah, hingga kembali bertemu di atas tempat tidur. Saling memandang, saling memeluk. Saling mengucap cinta dengan mata, dengan hati, dengan jiwa. Saling mengecup dengan rasa dengan hangat. Dan terlelap dalam peluk, dalam cinta. Hingga pagi menyapa atau justru ke surga,…

Saat Mimpi Bertutur

Hi, namaku Reuben. Reuben, pakai ‘E’ setelah ‘R’. Meski dalam pelafalannya biasa terdengar ‘Ruben’ agar kau tak dianggap ‘katrok’ bahasa, tapi dalam penulisannya, harus tetap ditambahkan ‘E’ setelah ‘R’. Ini penting ku jelaskan, karena bunda memanggilku hanya dengan Re. Re yang menurut bunda adalah nama seorang dewa matahari. Re yang menurut kepercayaan Mesir kuno adalah Sumber kehidupan, sumber inspirasi. Dipuja dan diagungkan. Karenanya, orang-orang zaman mesir kuno dahulu bersembahyang menghadap timur saat fajar menyingsing. Sementara ayah dan semua orang memanggilku ‘Ruben’ atau ‘Ben’. Mengapa namaku berkolaborasi antara Dewa Matahari dengan Presenter kocak yang sekarang lagi naik daun itu? Entahlah, ku kira hanya bunda yang mempunyai alasannya.

Hei, Jangan bayangkan aku seperti Ruben Onsu, presenter kocak cenderung gila itu! Aku jauh lebih kocak dan lebih seru, dengan caraku. Jangan berkhayal wajahku seperti Ruben Elishama si bintang film ganteng dan berbakat tapi sedikit tidak laku itu. Aku jauh lebih tampan dan lebih cool. Tentu saja dengan caraku sendiri.

Aku adalah warga dunia. Yang lahir dari kolaborasi pemikiran dua orang hebat. Ayah dan bundaku. Meskipun keduanya lahir dari dua suku berbeda di pulau jawa, tetapi aku tak pernah diajarkan tentang budaya-budaya yang cenderung membuat kemunduran pada perkembangan dan peradaban manusia. Bahasa yang diajarkan keduanya adalah bahasa perdamaian. Persaudaraan yang ditanamkannya adalah kemanusiaan. Tanpa melihat etnis, suku bangsa atau bahkan agama. Dan, cinta yang diwariskannya adalah cinta ilmu.

Ayah dan bunda. Orang yang selalu cinta pada kemanusiaan. Orang yang selalu marah pada ketidakadilan, ketimpangan social, dan selalu bersuara tentang kesetaraan. Hak asasi manusia. Terutama bunda yang selalu berteriak kencang ketika ada pelecehan terhadap perempuan. Dengan caranya, mereka akan memperjuangkan, mengkampanyekan dan menyadarkan orang tentang pentingnya kehidupan, bukan sekedar hidup. Kata mereka, kehidupan adalah film favorit panjang yang tak pernah usai.

Akan ku ceritakan sedikit tentang ayah dan bundaku, agar kau mempunyai gambaran yang jelas tentang aku. Sekarang, ayahku adalah ketua Komnas HAM. Posisinya terancam karena ia sering menabrak keinginan Presiden, penguasa Negeri ini. Ku dengar pertengkarannya di ruang rapat, siang tadi. Seluruh anggota Komnas HAM tidak mau mengungkapkan temuan mereka terkait kematian aktifis HAM, Munir. Kasus lama yang tak pernah selesai. Yang tak pernah terungkap fakta sebenarnya. Hanya karena presiden tidak berkenan. Tepatnya, seluruh system yang mempengaruhi presiden yang juga tak menginginkan fakta itu terungkap. Karena akan mencoreng-moreng banyak lembaga, termasuk Badan Intelejen Negara yang tak pernah tersentuh.

Ah, ia tak peduli dengan posisinya. Aku tahu itu, karena aku sangat mengenalnya. Ia tak peduli besok akan dipecat. Ia bahkan tak peduli tentang ancaman yang belakangan mulai sampai ke HP bunda. Ia terlampau percaya diri, tak mempunyai cacat politik atau hukum sedikitpun. Ku rasa, nasibnya akan serupa dengan orang yang sekarang sedang dibelanya. Ayah bilang, kemanusiaan ada bukan untuk dibiarkan tapi untuk dihormati. Jadi, bila kemanusiaan diabaikan, harus diperjuangkan.

Bundaku. Bundaku adalah seorang jurnalis media internasional. Sama seperti ayah, sebelum menjadi kandidat dan menjabat sebagai Ketua Komnas HAM. Dia adalah perempuan workaholic yang tak pernah mengenal kata lelah. Perempuan terseksi yang pernah ku kenal. Ah, jangan bayangkan bunda seperti Angelina Jolie. Dia jauh lebih berantakan dari Meg Ryan! Tapi, tingkat keseksian perempuan berkaca mata itu karena kecintaannya pada buku. Buku yang selalu disebutnya sebagai kunci kotak Pandora masa lampau, dunia global, dan masa depan. Katanya, dunia dan seisinya adalah buku yang tak pernah usai dibaca.

Bunda tak pernah alpa membacakan kami sebuah dongeng sesaat sebelum kami terlelap. Banyak dongeng. Mulai dari dongeng rekaan, sampai sejarah-sejarah tokoh-tokoh besar dunia, yang diceritakannya dengan apik dan menarik. Karena dongeng-dongeng itu, aku jadi sering bermimpi bertemu Karl Marx, beradu argument dengan Adam smith, mengikuti perjamuan Plato, atau terlibat dalam perang Gerilya. Tak jarang aku juga sering bermimpi menjadi Peterpan, menjadi Jin sahabat Aladin, atau menjadi Anoman dalam seri pewayangan! Haha…

Saat bercerita, bunda selalu menyertakan sebuah buku dan gambar-gambar apik yang menjadi ilustrasi. Dari semua cerita yang tak pernah habis itu, Dongeng favorit yang sering diceritakannya tentang Tomtitot. Pahlawan berusia 5 tahun, pembela kebenaran. Berambut cepak, berpipi tembam, berbadan ginuk-ginuk, bertopeng zorro. Suka bermain, suka tertawa, suka bermimpi, suka membaca, suka mengaji. Dengan sebuah kalimat sandi, “Nimi-Nimincrot, Namaku Tomtitot!”. Ku kira tokoh ini adalah zorro edisi kecil.

Sambil mengusap kepala kami, bunda bercerita jika Tomtitot ada untuk menghibur gadis kecil yang menangis kehilangan es krimnya yang jatuh, leleh. Tugasnya menghibur nenek tua yang rindu pada cucunya. Tugasnya bermain bersama anak-anak seusianya di taman baca, dekat taman kota, yang sedang ditinggal bekerja oleh ibu mereka. Dengan permainan-permainan seru atau juga dongeng yang asyik. Entah terinspirasi dari mana, karena tak ada satupun buku yang pernah dibacakan untuk kami bercerita tentangnya. Bunda bilang, cerita itu juga diceritakan nenek waktu ia masih kecil. Entahlah, kadang aku merasa, pahlawan cilik rekaan itu lebih mirip kami.

Ah, ya, kami. Bukan hanya aku. Aku terlahir tidak sendiri. Saat mimpi itu terajut, aku lahir bersama dengan kembaranku bernama Dimitry. Jangan bayangkan kami adalah dua kembar bagai pinang di belah dua. Kami hanya akan tampak mirip kalau sedang tidur, itupun jika sedang memakai penutup kepala. Sebab, jika rambutku gondrong berseni kelas tinggi, maka rambut Dimitry tak lebih dari 1 centi. Berpakaian senada dan tertata rapi. Selebihnya, kami adalah twins yang saling melengkapi. Dan kami adalah kolaborasi warisan kedua orang hebat itu.

Eits, jangan bayangkan bahwa kami adalah pemuda berusia 17 hingga 25 tahun! Tidak, kami masih sangat kecil dari itu. Entahlah berapa usia kami. Tapi yang jelas, ayahku masih kuat menggendong kami berdua, sekaligus!

Meskipun rambutku gondrong yang seharusnya lebih banyak dielu-elukan, tetapi, Dimitrylah yang banyak didekati gadis-gadis cilik seusia kami. Sebab ia tercipta menjadi laki-laki yang ramah, pandai bicara dan menarik perhatian. Ku kira ilmu ini didapat dari ayah. Sebab dalam sejarah hidup ayah, yang ku tahu, ia selalu berdekatan dan dikelilingi perempuan-perempuan cantik. Bukan karena wajahnya yang menurutku pas-pasan. Tapi, lebih karena tutur kata yang mencuri perhatian telinga setiap pendengarnya. Meskipun, jika ia bercerita, ku kira tak terlalu menarik, karena disertai dengan data yang terlalu rinci.

Aku sedikit pendiam (Dimi tak pernah setuju gambaran ini) dan cenderung cuek, seperti bunda. Aku lebih banyak menderita karena sering dicubit pipiku yang cubby oleh tante-tante atau budhe-budhe teman ayah dan bunda. Mereka bilang aku menggemaskan karena sangat aktif, hyper aktif, tepatnya. Selalu saja ada yang ku lakukan sehingga membuat mereka tertawa-tawa. Hobbyku memakai topeng zorro, tetapi celana pendekku bernuansa etnik batik yang dibelikan bunda di Djogja. Penampilan eksentris ini membuat mereka selalu ingin menggendongku. Padahal, aku sudah cukup umur untuk berjalan. Beberapa orang terkadang berpura-pura cadel untuk mengambil hatiku. Padahal, perkembanganku sudah cukup baik untuk berbicara dengan jelas. Meski, aku harus terus menambah perbendaharaan vocabulary.

Satu-satunya yang menghubungkan antara aku dan Dimitry adalah pertemanan kami dengan sejumlah anak-anak laki-laki di kompleks rumah kami. Bersama mereka, kami selalu memimpin kreatifitas yang selalu menjadi inspirasi permainan dari hari ke hari. Permainan congklak yang banyak ditinggalkan oleh anak-anak metropolis kembali kami mainkan. Kasti, petak umpet, gambaran, gobak sodor, layang-layang,… Permainan yang banyak ditinggalkan karena games-games PS atau games-games komputer. Permainan-permainan itu terinspirasi dari cerita-cerita bunda yang sesekali kami praktekkan. Ia bahkan memberi kami dispensasi untuk terlambat tidur, jika kami ingin mempraktekkan cerita yang baru saja kami dengar darinya. Haha, bundaku yang cantik itu memang orang yang atraktif!

Tak satupun anak-anak perempuan di kompleks kami yang bergabung, kecuali Flo. Flo yang tomboy, anak perempuan kesepian yang sering ditinggal orang tuanya bekerja. Kehidupannya hanya bersama dua orang baby sitter yang lebih sering bergosip sendiri daripada menjalankan tugasnya. Kalau Dimitry dan aku sengaja lewat depan rumahnya untuk pergi ke lapangan kompleks kami, maka dengan mengendap-endap dia akan keluar rumah dengan meloncat jendela dan memanjat pagar rumah.

Flo akan menelphon ke rumah jika kami tiba-tiba ikut ayah ke luar kota atau bahkan ke luar negeri. Dengan suaranya yang cempreng, ia akan memekakkan telinga bunda, dan berpesan ini dan itu, kalau kami sudah pulang nanti. Ia akan meminta nomor telephone ayah. Menelphon saat ayah sedang melakukan reseach atau wawancara dengan seorang narasumber. Ayah akan mengerutkan dahi, mendengar suara di seberang. Sedikit menjauhkan HP dari telinganya, menggeleng-geleng sambil menyerahkan selularnya pada Dimitry. Flo akan mengatakan hal yang sama persis dengan yang dikatakan pada bunda.

Ya, kami sering berpetualang bersama ayah. Ke seluruh pelosok Indonesia raya. Ke sudut-sudut dunia. Mengikuti konfrensi ini dan itu. Mengikuti sekolah pendek, atau research untuk tulisannya. Ke tempat-tempat terjadinya gunung meletus, banjir bandang, sampai tsunami. Ke suku-suku terpencil, Suku Dayak, Sasak, Mentawai, Badui, Samin,… Uph, tak terhitung lagi kegiatan yang kami lakukannya.

Tugas kami di tempat-tempat itu adalah berkreatifitas. Bermain dengan segala hal yang yang ada. Berteman dengan teman-teman ayah, berteman dengan beberapa anak yang berada di sekitar lingkungan baru kami, dan menghibur seluruh anak-anak yang kehilangan rumah atau orang tua mereka. Jika tugasku adalah beraksi agar anak-anak itu tak lagi bersedih saat pengungsian, maka tugas Dimi adalah memotret. Dengan kamera butut yang dihadiahkan ayah untuk kami, dia selalu mengambil pose-poseku bersama anak-anak kecil itu, layaknya seorang photographer terkenal! Mengikuti beberapa gaya cara mengambil angle ayah atau teman-teman photographer ayah. (Itu, kami lakukan sebelum ayah menjadi ketua Komnas HAM).

Meskipun ikut bunda juga menyenangkan, tetapi, jalan-jalan bersama ayah adalah hal yang lebih menegangkan! Karena, kegiatan ayah lebih berupa-rupa daripada bunda. Sementara bunda, menjadi kontributor untuk daerah tertentu, sehingga tak bisa berkeliling-keliling sesuka hati, seperti ayah. Kecuali, dia sedang ada undangan menjadi pembicara ini dan itu, atau pelatihan ini dan itu, atau semacam itulah. Dan semua acara itu dilakukan di hotel atau kampus, huh! Membosankan.

Perjalanan kami ke pelosok penjuru dunia, membuat kami pintar belajar setiap bahasa yang ada di dunia. Meskipun semua hanya sebatas percakapan. Kalau Cuma bahasa Indonesia dan English, kami menggunakannya bersama ayah dan bunda setiap waktu. Bahasa Perancis, Jerman, Tagalong, juga sejumlah bahasa di Indonesia seperti bahasa Aceh, Nias, Sulawesi, Ambon, Kalimantan, Jawa dan Madura. Hobbyku berceloteh dan bertanya ini dan itu, membuat semuanya pelajaran lebih mudah (tapi lebih ruwet menurut Dimi). Selalu ada hal yang baru bagi kami. Belakangan, kami paling intens belajar bahasa arab melalui buku iqra’ yang mulai diperkenalkan bunda pada kami,hihihi…

Selalu ada yang ku jadikan bahan cerita untuk teman-temanku di sekitar kompleks rumah kami. Dan cerita Dimi, panggilan sayangku pada the twins itu, hanya untuk Flo dan beberapa teman-teman perempuan lainnya, huh! Meskipun, sebenarnya, tak satupun dari perempuan-perempuan itu yang mengerti cerita Dimi yang sangat complit!

Dari ribuan tempat yang kami kunjungi, membuat kami mulai membangun mimpi tentang masa depan. Meski kami tetap bermain-main bersama khayalan anak-anak seusia kami. Aku yang begitu terobsesi pada Zorro, membuatku ingin menjadi pahlawan pemberontakan, pembela kebenaran dan keadilan, saat ku besar nanti. Ini terinspirasi oleh sejumlah tokoh dunia yang diceritakan bunda, selain tentang Tomtitot yang tak pernah bosan kami dengarkan. Cita-cita ini, bisa diterjemahkan sebagai pemimpin sebuah organisasi terlarang yang menentang tiranisme pemerintah atau dominasi Negara maju seperti Amerika! Aku akan menjadi pemimpin yang diperhitungkan oleh Dunia, seperti Mahmood Ahmadinejad. Seperti Che Guevara, seperti Tan Malaka, seperti Rossa Luxemburg! Atau justru menjadi tentara di tapal batas, seperti… entahlah!

Dua orang hebat itu tak pernah protes dengan cita-cita kami. Karena kami dibesarkan dengan demokrasi yang diterapkan dengan murni. Kami boleh memilih dengan segala konsekuensi yang dibicarakan dari awal. Meskipun, saat bunda mengetahui aku ingin menjadi tentara, berkali-kali ditanyakan dan bercerita tentang system Negara yang membuat profesi satu itu seharusnya tidak menjadi pilihan bagi otak-otak cerdas yang kami miliki. Menurutnya, Kami tak kan lagi merdeka jika memilih tentara yang dibentuk menjadi mesin dengan doktrinasi di awal pertemuan. Menurutnya pula, hierarchy system yang terbentuk di institusi itu tak kan membuat kami bebas memilih dan merdeka. Bunda bilang, sikap kritis dan pertanyaanku yang selalu banyak itu tak kan berguna lagi saat masuk korps kesatuan bernama tentara.

Tentang cita-cita menjadi pemimpin organisasi terlarang atau pindah kewarganegaraan untuk membela kaum tertindas, bunda hanya mengangguk sambil mengatakan, “Bunda yakin, kalian sangat cinta pada kemanusiaan yang menghargai setiap nyawa, binatang sekalipun,” Hmm,… Bunda selalu menemukan cara untuk “menjaga” kami dari ketersesatan di jalan yang benar. Haha..

Lain halnya Dimitry. Bohemian cilik itu selau bercita-cita menjadi penulis yang pandai menyanyi dan dielu-elukan oleh banyak perempuan. Yang ingin memulai harinya dengan sebuah lagu. Yang ingin menjalani pagi dan siangnya dengan berjalan-jalan diantara rimbun hutan, ketinggian gunung atau pantai. Menulis dan melukiskan keindahan dan kesederhanaan yang terekam dalam gambar-gambar photografi. Dan ingin menghabiskan malamnya dengan buku-buku bacaan. Dia lebih suka mengabadikan rekaman dalam otaknya dalam kata dan frasa pilihan dalam sebuah sajak, dalam sebuah puisi daripada tulisan panjang dalam sebuah dongeng ataupun cerita.

Cita-cita ini sangat pas dengan nama yang melekat padanya. Berbeda dengan namaku yang hanya dipanggil sepenggal, bunda selalu memanggil nama saudara senasib seperjuanganku itu dengan nama yang lengkap, Dimitry. Menurut bunda, nama Dimitry tidak kalah ajaib daripada namaku. Nama pria flamboyan dengan gaya santai namun tetap rapi itu memang senada dengan perawakannya. Mengandung arti Dewa Kesuburan, diambil dari bahasa Rusia. Dewa kesuburan sangat identik dengan bumi, alam yang indah, romantis, dan, yah,… kesan itu memang Dimi banget!

Dimitry. Yang suka menghilang saat kami beranjak dewasa nanti, untuk pergi menyendiri. Ditelan sepi, diantara rimbunnya hutan-hutan yang menjadi dingin. Di antara ketinggian gunung, dan di tepi pantai. Dia, benar-benar terobsesi pada Christopher McCandless yang bertransformasi menjadi Alexander dalam film “Into the wild”. Selalu dicari orang-orang, digemari, dicintai dan… dia justru memilih menghilang diantara sahabat-sahabatnya sebangsa kukang, chitah dan terumbu! Ah, tak jelas benar bagiku, hobby ini didapat dari mana, ataukah kami sebenarnya terlahir dari turunan ketuju tarzan kota, seperti cerita-cerita Hollywood. Sehingga, gen sebangsa primata itu menyatu pada darah Dimi!haha,…

Dia sangat gila pada buku-buku, seperti bunda. Ini hal yang ku suka sekaligus kubenci. Karena, saat dia terjerat pada satu buku, ia bahkan tak mau beranjak dari tempat tidur untuk bermain. Atau tetap mengikutiku kemanapun, tanpa melepas perhatiannya pada buku. Kalau sudah begini, ia seperti orang buta yang harus kutunjukkan jalan yang benar.

Dimitry adalah kamus berjalan bagiku. Yang selalu mengetahui segala hal yang belum aku tahu. Hobbynya adalah bercerita seperti bunda, tetapi, aku merasa sedang mendengarkan seorang dosen yang sedang mengajar di depan kelas. Kebiasaan ini membuatku merasa tak perlu membaca buku-buku yang dihadiahkan bunda atau ayah pada kami. Aku cukup mendengarnya, karena ia akan bercerita dengan sangat detail dan rinci. Kadang, Dimi mengadukan kemalasanku untuk membaca pada bunda. Dengan ketangkasanku, aku menceritakan apa yang pernah diceritakan Dimi. Dibumbui dengan khayalanku dan gerak tubuh yang selalu ku praktekkan, hingga cerita itu menjadi lebih hidup! Haha,…

Kalau sudah begitu, Dimi tak kan mau menceritakan apapun padaku, selama seminggu! Hingga suatu hari aku menemukan formula yang lebih kreatif untuk membuatnya bercerita.

“Ah, aku lho nggak percaya kamu sudah baca apa belum,” Kataku ketika dia berkeras tak mau bercerita tentang buku dongeng Winnie The Witch seri pertama yang baru saja dibacanya. Hadiah dari bunda bulan ini.

“Ih, aku sih nggak malas seperti kamu,” Tukasnya sedikit emosi mendapati kredibilitasnya sebagai kutu buku diragukan.

“Coba sih, halaman satu apa isinya?” Pancingku. Ia lantas bercerita dengan lancar.

Buku dongeng yang ditulis Valerie Thomas itu, menurut Dimi, bercerita tentang penyihir bernama Winnie yang tinggal di rumah bercat hitam, berpakaian hitam dan mempunyai kucing bernama Wilbur berwarna hitam. Karena warnanya yang senada, membuat kucing kesayangannya itu sering terinjak atau tak sengaja diduduki. Karena kekacauan itu, si penyihirpun mengubah warna kulit Wilbur menjadi berwarna hijau. Abracadabra!!!

“Terus?” Tanyaku sambil berpura-pura acuh pada ceritanya dengan tetap focus pada permainan puzzle yang dihadiahkan ayah.

“Terus, karena Wilbur ketahuan tidur di tempat tidurnya Winnie, kucing itu diletakkanlah di taman depan rumah. Wilbur hijau itu kembali tak terlihat karena “bersatu” dengan warna rumput. Winnie kembali menyihir bulu Wilbur menjadi warna-warni, setelah sebelumnya Kucing itu melayang ke angkasa akibat tertendang Winnie,” Lanjut Dimi.

“Terus?” Gumamku sambil tertawa dalam hati.

“Ya terus, warna bulu Wilbur seperti pelangi,” Tukas Dimi bersemangat.

“Terus Winnie kembali tak sengaja menendang Wilbur ke Pelangi?” Tebakku dengan nada seperti orang menyelidik.

“Sok tahu! Nggak, yo… Gara-gara warnanya yang rupa-rupa itu Wilbur jadi ngambek. Nggak mau pulang ke rumahnya Winnie, karena malu… Dari situ, Winnie kesepian dan mulai berpikir ulang. Dia akhirnya merubah warna rumah dan perabot yang ada di dalamnya menjadi warna-warni. Sementara Wilbur kembali disulap berwarna hitam,” Jelasnya sedikit jengkel denganku dan bangga dengan penjelasannya.

“Makanya Dim, kalau jadi orang itu, harus intropseksi diri. Jangan sampai, karena sesuatu yang kita anggap baik, justru membuat orang lain tersiksa. Karena semua hal tidak bisa dan tidak harus sesuai dengan keinginan kita,” Tukasku. Kalimat ini membuat Dimitry terlongo-longo melihat kekalahan telak. Wajah cakepnya mendadak merah, ketika mendengar kesimpulan yang ku buat dari ceritanya, sebelum akhirnya dia memprotes kata yang ku sebut dengan salah.

“Introspeksi, bukan intropseksi!” Protesnya, berusaha membalik keadaan.

“Halah, salah sedikit aja lho,” Kataku sambil menjawil pipinya dan merangkulnya mengajak bermain. Sambil bersungut-sungut, ia balik merangkulku dan kami tertawa bersama,..

Dan kekalahan Dimi hari ini, dibalasnya kelak, saat kami belajar berpuasa untuk pertama kali. Selama seminggu aku berusaha buang angin sebelum imsyak. Karena menurut Dimi, berpuasa tidak boleh lepas dari wudlu. Kalau batal wudlu berarti batal bepuasa. Dimi sangat tahu hobbyku adalah buang angin. Dan selama seminggu itu, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak kentut sebelum maghrib. Begitu tersiksanya aku, sampai suatu ketika aku mendapati Ayah tetap kentut saat bercanda dengan kami, sebelum berbuka. Dengan bersemangat aku berteriak, Ayah batal puasa, justru disambut tawa lepas Dimi yang tiba-tiba menghilang dari hadapan kami!

Begitulah kehidupan kami yang masih ada dalam cita-cita. Masih ada dalam khayal ayah dan bunda. Entah kapan kami akan terwujud. Tapi, jika kami terwujud, pasti kami anak-anak yang hebat! Jika aku adalah matahari, dan Dimitri adalah Bumi, maka akan ada yang menyatukan kami dalam sebuah momen di ujung barat. Dialah Senja,…

Senin, 12 Oktober 2009

Kangen,…

Aku memperhatikan gerak-gerik perempuan berusia 50 tahun itu. Berjarak 30 meter dari tempatnya berdiri saat ini. Ia mematung di bawah pohon akasia yang terletak di depan sebuah universitas swasta, kota pendidikan. Rambutnya yang telah berwarna kelabu menari mengikuti arah angin yang menyapu wajahnya dari arah kiri. Diikuti guguran dedaun dari pucuk-pucuk pohon yang bergoyang-goyang searah. Ia merapatkan tais di ujung lehernya. Sebuah angkot berwarna biru sempat menghalangi pandangku.

Udara memang sangat dingin saat memasuki musim peralihan seperti saat ini. Angin bahkan lebih kencang berhembus akibat elnino, di bulan ini. Setidaknya, begitu yang dikatakan tivi dan beberapa media massa yang ku baca belakangan. Ah, tak sampai hati melihatnya yang sama sekali tak memakai baju rangkap. Ingin sekali aku menghampirinya dan menyorongkan jaket yang ku kenakan. Saat ku lihat kembali, seorang mahasiswi berpenampilan eksentris tak sengaja menyenggol pundaknya. Ia tak peduli.

Harusnya aku menangkapnya. Memasukkannya ke dalam mobil ambulance yang ku bawa dan mengembalikannya ke kamar pengap zal RSJ. Penjara kesadaran yang telah ditinggalinya selama 22 tahun lebih. Tapi aku tak hendak melakukannya, meski aku terancam dipecat jika ketahuan melakukannya. Akan diberi catatan hitam tentang pelanggaran kode etik dan beberapa hukuman lainnya. Ah, aku tak peduli. Sebab aku merasa, tempatnya memang bukan di zal batu itu.

Ia tetap memandang sebuah hotel mewah yang terletak persis di seberang jalan tempatnya berdiri. Hotel asri yang dikelilingi banyak pohon palm di depannya. Tak jelas benar bergaya apa bangunan itu. Ia hanya serupa bangunan megah yang berdiri angkuh menantang gedung universitas berkubah serupa masjid. Mata senjanya begitu sayu. Sedikit berair ku kira. Beberapa kali ku lihat ia mengerjap. Entah apa yang akan dilakukannya. Sedikit kekhawatiran muncul, ia akan melakukan tindakan lebih dari 22 tahun yang lalu. Tindakan yang membuatnya harus terkungkung di penjara kesadaran.

Ia adalah pasien pertamaku. Saat menjadi dokter muda, 22 tahun yang lalu. Pasien pertama yang membuatku iba untuk tidak membiarkannya sendiri. Pasien pertama yang membuatku ingin tetap memperhatikan perkembangannya. Pasien pertama yang membuatku jatuh cinta pada ilmu kejiwaan. Pasien pertama yang membuatku berfikir ulang tentang keberatanku ditempatkan di rumah sakit kecil kota kedua propinsi ini. Sekaligus pasien pertama yang membuatku mengerti perbedaan antara pura-pura gila, pura-pura waras dan pura-pura lainya. Di satu titik, analisaku mengatakan jika Ia adalah orang waras yang hanya ingin menumpahkan kemarahannya secara berlebihan.

Lebih dari 22 tahun yang lalu. Aku mendapatinya dikerangkeng di ruang gelap. Tersungkur mencium lutut di sudut ruangan tanpa penerangan dan sedikit ventilasi. Dua kali Tiga yang begitu dibenci oleh penghuni zal. Pengasingan dimana beberapa tahun kemudian justru menjadi tempat favoritnya saat ia ingin “menenangkan” diri.

Aku melihat catatan kesehatannya, secara fisik maupun kejiwaan. Dan alasan mengapa ia dibawa ke tempat untuk jiwa-jiwa yang sakit ini. Mencengangkan. Ia membakar sebuah hotel. Bangunan yang telah kembali berdiri megah dan terletak persis di hadapannya, kini. Sebelumnya, ia ditangani oleh aparat. Tinggal di dalam Sel tahanan selama beberapa waktu. Sampai pada suatu percakapan dengan penyidik.

“Apakah saudari dalam kondisi sehat?” seorang penyidik mengawali pertanyaan formal. Sesekali melirik wajah cantiknya. Berkali-kali sebelas jarinya salah memecet huruf dan angka pada tuts keyboard.

“Sedikit capek,” Jawabnya pendek dan percaya diri.

“Apakah saudari dalam kondisi sadar?” Tanya petugas, lagi. Sebuah ballpoint terjatuh menggelinding ke sudut meja, karena terdesak oleh tuts keyboard yang bergerak-gerak ke kanan.

“seratus persen,” Jawabnya tegas tanpa ragu. Sambil meletakkan ballpoint bertinta hitam itu kembali ke tempat semula. Pertanyaanpun berlanjut pada pertanyaan identitas dan kronologis peristiwa. Sejauh ini, semua lancar. Sehingga sang penyidik bersyukur tugasnya menjadi lebih ringan.

“Lalu, mengapa saudari melakukan pembakaran hotel pada malam itu?” Ada jeda yang panjang. Perempuan yang belum melewati separuh masa usia ukuran normal orang hidup di dunia itu mengerjap-ngerjapkan mata. Menahan buncahan air mata yang segera meluncur di pipinya. Ia tampak kesulitan menahan emosi yang meletup-letup mendengar pertanyaan tadi.

“Saya tidak bisa mengatakannya. Karena itu urusan saya pribadi. Terima kasih untuk tidak bertanya masalah itu,” Jawabnya tetap pendek. Jawaban ala artis dari perempuan itu membuat petugas berusia awal 40an itu keruh. Wajahnya semakin rusuh manakala teringat jawaban yang dianggapnya lelucon itu, sementara ia belum pulang setelah semalam begadang karena piket.

“Anda jangan main-main dengan petugas,” Hardik penyidik tadi berusaha memperlihatkan taringnya.

“Tidakkah cukup bagi anda untuk cukup mengetahui kronologinya. Tokh saya juga tidak akan lari untuk tidak bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan,” Jawabnya ketus, tanpa peduli pada kumis tebal sang petugas.

“Tentu saja saya harus tahu kenapa anda melakukan pembakaran itu. Karena ini berkaitan dengan motif. Apakah anda terkait dengan urusan terorisme misalnya. Karena teroris jaman sekarang kan bentuknya tidak lagi bercelana cekak, atau memakai burqa, untuk menutupi kebejatannya. Noordin M Top saja ditemukan bekas sodomi pada duburnya, jadi kan bukan tidak mungkin anda sebagai pelaku terorisme,” Omelah penyidik yang menekan papan nama bertuliskan Brigpol Santoso itu, diluar dugaan, justru membuat perempuan itu mengamuk. Ia mengeluarkan sumpah serapah yang lebih panjang dan lantang, sehingga petugas tadi menamparnya. Tamparan yang telak di pipi perempuan itu tak membuatnya terdiam. Ia justru menggebrak-gebrak meja dengan mengatakan bahwa ia bersumpah tak akan mengatakan apapun tentang mengapa ia membakar hotel itu.

Keterangan saksi mata, keluarga dan sahabatnya pun tak ada yang mengetahui mengapa ia melakukan pembakaran terhadap hotel itu. Catatan kegiatannya sejak SMA hingga kuliah dan saat bekerjapun relative bersih.

Ini juga terjadi ketika ia di hadapan persidangan. Tiga hakim yang memimpin sidang dibuatnya pusing tujuh keliling atas sikapnya yang tak terkendali. Menjerit-jerit dan bersumpah tidak akan mengatakan apapun tentang motifnya, hanya karena ia memiliki alasan pribadi yang tak perlu orang lain tahu.

Hal ini pula yang menyebabkan tim majelis hakim tidak mengirimnya ke lembaga pemasyarakatan, tapi justru ke penjara kesadaran. Saat itu ia menjerit-jerit tak tentu arah dengan memastikan bahwa dirinya masih waras dan melakukan pembakaran hotel itu dalam kondisi waras.

Ia berteriak bukan orang gila. Hal yang sering dilakukan oleh para orang gila baru yang dikirim. Ia juga tidak jarang mengamuk setelah kedapatan melamun dan menangis sesenggukan. Saat itulah obat penenang sering kali disuntikkan ke pembuluh darahnya. Saat melihat jarum suntik mengarah kepadanya, dengan berlutut nyaris menyembah, ia memohon untuk tidak disuntikkan cairan itu. Saat itulah, ia akan langsung tenang.

Saat itulah aku mulai mendekatinya. Bertanya apa yang dia inginkan. Ia meminta buku dan ballpoint. Tak seorangpun yang menganggapnya serius, sehingga seorang perawat hanya memberinya kertas Koran dan meminjamkan sebuan pensil.

“Buku, suster! Bukan Koran,” Hardiknya pada suster tadi. Kalau saja tak ada aku di tempat itu, mungkin sang suster telah menamparnya. Hal yang sering terjadi jika para dokter tidak sedang bertugas. Banyak sekali suster-suster yang sering menumpahkan kemarahan dan masalahnya di rumah pada pasien-pasien tidak waras ini.

Aku menyorongkan sebuah notebook yang kebetulan ku bawa. Ia memandangku menyorotkan terima kasih. Meski tak mengucapkan sepatah katapun. Dan sejak saat itu, ia memang jarang bicara. Hanya tenggelam dalam catatannya. Hanya tenggelam dalam dunia tulis yang dilakukannya sepanjang waktu. Bahkan, sapaanku setiap pagi untuk memeriksa kondisinya hanya diacuhkan saja, kecuali ia meminta buku tulis lagi.

Saat aku merasa ia mulai jinak dan terkendali, aku memilih mengijinkannya mengunjungiku di ruang kerjaku. Hal yang seharusnya tak boleh dilakukan. Tapi entah mengapa aku mempercayainya tak akan membahayakanku. Tak banyak yang berubah. Ia memang suka menungguiku di dalam kantor, sambil terus menulis. Ia hanya ‘mencuri’ ballpoint yang terletak di meja, kalau itu dianggap kesalahan. Ia hanya merampok kertas-kertas kosong yang tergeletak dekat printer jika itu dianggap suatu pelanggaran. Selain itu, ia lebih suka melakukan teraphynya di taman, tanpa menjawab satupun pertanyaanku, dan terus tenggelam dalam tulisannya.

Sesekali, ia pernah memintaku mengirimnya ke ruang isolasi. Saat dengan tiba-tiba ia menahan air mata dengan wajah yang teramat menyedihkan. Kalau sudah begini, aku lebih melihatnya sebagai seorang yang telah terserang candu narkoba yang berharap mendapatkan asupan gizi dari putau. Menangis, menggelepar-gelepar. Memegang kepala yang dan menjambak-jambak rambutnya sendiri. Tak jelas benar apa yang iya rapalkan, saat ku kuping ucapannya di ruang gelap itu. Ku kira itu semacam doa. Karena lamat-lamat ku dengar berbahasa arab, ku kira.

Hingga lima tahun pertama, pemandangan semacam itu masih sering ku lihat. Berangsur berkurang pada lima tahun berikutnya. Ia kembali terusik saat aku mengatakan bahwa kondisinya mulai membaik. Diluar dugaanku, ia justru menangis sejadi-jadinya. Meratap dan memintaku tidak mengirimnya kembali keluar.

“Saya tahu, saya bisa kembali membakar hotel itu jika saya ada di luar sana. Biarlah saya menjalani hukuman di RSJ ini,” Jawabnya sambil menyeka air mata.

Aku terkesima. Analisaku tak mungkin salah, bahwa ia mengingat dengan baik peristiwa pembakaran yang dilakukannya. Ia dengan sadar khawatir melakukan tindakan diluar kendalinya kembali. Ia dengan sadar mengaku tak ingin melakukan kesalahan lagi. Tak mungkin ini dilakukannya hanya karena takut pada ancaman penjara. Kasus ini bahkan mungkin polisi, jaksa dan majelis hakimnya telah renta dan memasuki masa pensiun atau bahkan telah mati. Ia bahkan telah mengabiskan hampir dari sepertiga hidupnya di RSJ ini.

Berhari-hari aku tak mendapatkan jawaban, sampai akhirnya aku berhasil mencuri notebook pertama yang pernah ku berikan kepadanya. Di halaman pertama, isinya hanya bertuliskan bahasa dan huruf arab tanpa harakat dengan found yang begitu besar, hampir memenuhi halaman. Aku tak tahu benar apa artinya, karena nilai mengajiku juga sampai juz amma. Aku hanya mengenal huruf-furuf yang tertulis adalah ‘Mim’ yang diganden dengan ‘Ra’, ‘Ya’, ‘Dal’, ‘Wau’ dan ‘Nun’. Ada jeda seperti untuk spasi sebelum akhirnya terdapat sejumlah huruf lain bertuliskan ‘Qof’ yang digandeng dengan ‘Lam’, ‘Ba’, dan ‘Ya’. Halaman selanjutnya, adalah tulisan berbahasa arab murni, tanpa harakat. Aku pusing dibuatnya. Kalaupun ini tidak ditulis dalam bahasa arab, pasti tulisan itu adalah tulisan pegon.

Tulisan itu begitu rapi. Ia bahkan menulisnya dengan huruf-huruf yang kecil-kecil, seolah sengaja menghemat space yang ada. Melihat tulisan yang tertata, aku menjadi ragu atas ketidakwarasannya. Aku memutar otak. Tak mungkin bagiku memintanya bercerita. Karena aku telah sangat gagal melakukannya. Nasibku bahkan tidak lebih baik dari pada Brigpol Santoso. Tidak mungkin pula bagiku untuk mencuri notebook itu dan mencari tahu isinya. Tindakan itu hanya membuatnya semakin jauh dari ku. Hal ini ku ketahui setelah ia mengamuk sejadi-jadinya pada salah satu pasien yang berusaha merampas buku yang sedang ditulisnya.

Aku berspekulasi. Aku meminjaminya laptop, ketika ia hendak memulai ritualnya untuk menulis di dekat jendela, tempat favoritnya. Di luar dugaanku, ia begitu suka menerimanya. Langsung membuka program MS Word dan mulai menulis. Tanpa lelah, ia terus menulis meskipun hari telah lewat siang. Ia bahkan tak hendak meninggalkan ruang kerjaku, kalau saja aku tak mengatakan sudah saatnya aku pulang. Ku janjikan untuk meminjaminya lagi esok hari, dan begitupun seterusnya.

Sialnya, saat aku berusaha mencari folder yang ditulisnya, ia dengan sangat lihai membuatnya tersembunyi. Bahkan, ketika folder tadi ku temukan, ia masih sempat memberikan passwords yang membuatku hampir angkat tangan. Aku bahkan harus mencari seseorang yang pandai membuka passwords untuk mengetahui isinya. Dan, saat passwords itu terbuka, ia tetap menulis dalam bahasa arab. Sial! Layanan internet yang ku pasang pada net book itu membantunya menulis melalui google.

Begitu seterusnya, sampai pada tulisan hari ke 73 di laptopku, ia menulis semacam cerpen. Pendek. Hanya 2 halaman. Berbahasa Indonesia dan bertulis alphabet Tapi dengan membacanya aku justru mengetahui kedalam hatinya. Ia bahkan tak secuek yang ditampakkannya. Entah untuk siapa cerpen itu tercipta, tapi kalau aku boleh GR pada orang gila satu ini, ia menulis tentang aku dan kegiatanku sebagai dokter.

Diksi yang sangat terpilih. Alur yang begitu rapi. Emosi yang begitu dalam. Anehnya, ia menuliskan nama penulis yang bukan namanya. Ingin menuntaskan penasaran, akupun berusaha mencari nama yang tertulis di bawah karangan pendek itu di sebuah situs internet. Hasilnya, aku baru menyadari jika ia adalah seorang penulis cerpen. Beberapa tulisannya bahkan dimuat di media nasional.

Aku semakin curiga dengan tulisan berbahasa arab itu. Dengan mencari seorang translater di tempat kursus bahasa asing, aku meminta terjemahan beberapa tulisan yang tersimpan di laptopku.

“Apakah ini sebuah novel atau sebuah diary?” Tanya seorang translater saat aku menjemput hasil terjemahan yang aku pesan. Aku menggeleng, dan tak tahu harus memberikan penjelasan apa.

“Tulisan ini sepertinya lanjutan dari tulisan sebelumnya,” Tambahnya lagi seraya menyerahkan flashdisk penyimpan tulisan pasien gilaku itu. Dan, saat aku mulai membaca tulisan terjemahan dari tulisannya, aku tertegun. Menyadari kedalaman hatinya. Menyadari ketertekanannya. Ketertekanan mengatasi rasa cinta yang mengungkungnya hingga kini. Ketertekanan saat cinta itu tak memilihnya karena salah waktu atau salah orang. Ketertekanan karena rasa kangen yang mengurungnya hingga kini. Ketertekanan yang membatnya tak bisa menerima ingatan-ingatan indah, yang justru membuatnya bersedih dan berontak. Ketertekanan yang membuatnya membakar sebuah hotel di depan universitas, tempat pertemuan pertama kali dengan seseorang yang begitu dicintainya. Tempat mencurahkan segala cinta tak terlupakan. Serta tempat pertemuan terakhir yang membuatnya kehilangan.

Di satu tulisan, ia bahkan menulis tentang puisi WS Rendra yang juga diterjemahkan dalam bahasa arab. Aku mengetahuinya dari sebuah terjemahan yang tertulis pengarangnya. Judul yang sama tertulis dalam notebook halaman pertama yang pernah aku temukan. Saat aku berusaha mencari puisi itu, aku tak menemukanya. Mungkinkan penerjemah tadi salah mengartikannya? Ataukah ia yang tak menemukan padanan kata dalam bahasa arab?

Dan hari ini, aku membiarkannya diam-diam keluar dari zal RSJ. Sebab hari ini adalah hari bersejarah baginya. Berdasarkan sebuah tulisan yang juga ditulis dalam bahasa arab. Aku bahkan mengetahui arah pelariannya. Di depan hotel itu.

Ia masih berdiri di posisinya saat sore berganti senja. Ragu untuk bergerak. Tetapi, berdetik kemudian, ia beringsut dengan menoleh kanan dan kiri untuk menyeberang. Seketika aku panic, saat mengetahui arahnya. Aku berusaha tetap tenang. Meski mulai tergesa pula untuk masuk ke dalam hotel itu, tanpa peduli ia mengetahui keberadaanku. Ku putuskan untuk tidak menghubungi siapapun terlebih dahulu. Meski aku tak pernah tahu apa yang akan dilakukannya di dalam, tapi aku yakin ia tidak akan kembali melakukan kebodohannya 22 tahun yang lalu.

Ia tampak sedikit takut dan canggung. Mungkin, ia khawatir kembali dikenali. Tapi, ia terus maju dan segera masuk ke sebuah restoran bernuansa etnik yang ada di lantai dasar. Memilih sebuah kusri di pojok kiri yang sedikit terlindung.

Aku memilih kursi berjarak tiga meja darinya, posisi yang ku anggap strategis jika ia berbuat sesuatu di luar prediksiku. Ketika aku sibuk memesan minuman, ia justru maju ke depan, menghampiri penyanyi kafe yang mengundang pengunjung untuk bernyanyi. Ia berbicara sejenak, sebelum akhirnya group band yang bertugas menghibur pada malam itu memberikan gitar akustik. Ia langsung mencari kursi yang diletakkannya pada posisi persis di depan mic yang diletakkan pada sebatang stand. Sekali lagi aku terkesima dibuatnya.

“Saya tidak ingin menyanyi. Atau setidaknya, nanti saja saya menyanyi,” Ucapnya lebih pada diri sendiri, bahkan seolah acuh pada pengunjung yang ada di sana. “Tapi saya akan membawakan sebuah puisi yang membuat saya hidup hingga hari ini. Yang mengobati saat rindu menyerang saya,” Ia mulai memetik dawai. Satu persatu.

“Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta,” Bait pertama dibacakannya tanpa gesa. Suasana haru dari petika gitar yang halus mulai mencuri pengunjung yang hadir untuk sekedar melihatnya.

“Kau tak akan mengerti segala lukaku kerena luka telah sembunyikan pisaunya,” Bait kedua dibacakannya dengan kata yang mulai bergetar.

“Membayangkan wajahmu adalah siksa. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan,” Bait ini, air matanya mulai membuncah di ujung selasar matanya yang indah.

“Engkau telah menjadi racun bagi darahku,” Bait ini kemarahan tanpa daya ditunjukkan wajahnya yang tetap menunjukkan gurat-gurat kecantikan, menurutku.

“Apabila aku dalam kangen dan sepi, itulah berarti aku tungku tanpa api,” Bait terkahir ini mengantarkan air mata ke pipi dan gitar yang sedang dipetiknya. Di bait terakhir ini pulalah, petikan dawai satu-satu berubah membentak indah menuju ke sebuah reff lagu yang tak kalah mendayu,…
… I thought we’d be sexy together, Thought we’d be evolving together, I thought we’d have children together, I thought we’d be family together, But I was sadly mistaken,…

Saat selesai menyanyikan lagu itu, ia segera menghampiriku dan berkata, “Saya siap kembali ke Zal batu itu,” Sambil tersenyum. Tapi entah kenapa, aku lebih suka membawanya ke penerbit dari pada membawanya pulang k RSJ.

_***_

Jumat, 10 Juli 2009

Cerita Cita-Cita di tepi Asa

Mataku mengerjap. Saat udara dingin menelusup kulit keringku. Udara lembab menusuk-nusuk tulang yang hanya dibungkus dengan daging sekelumit. Baju rangkap yang ku kenakan tak membuat gigilku hilang. Bulan ini masuk musim angin. Aku bahkan tak berani menyentuh air laut yang biasanya hangat. Kalau memasuki musim angin begini, air laut bahkan di bawah 0 derajat celcius.

Pandangku berpendar. Sekelebat terlukis bangunan-bangunan bersemen kokoh. Beratap biru. Daratan masih sekitar 100 meter dari tempatku berdiri di perahu kecil ini. Tak sampai sepuluh menit lagi aku akan sampai di pelabuhan Kalabahi. Pelabuhan terbesar di kepulauan Alor, tempat aku tinggal selama ini.

Tidak, aku tidak tinggal di sana, di pulau Alor besar. Meski pulauku masih bagian dari Kabupaten Alor. Aku hanya mengunjungi pusat kabupaten itu setidaknya sebulan sekali, saat mengantarkan mutiara-mutiara nan indah, hasil kami menyelam. Mutiara-mutiara asli, bukan hasil budidaya seperti yang dilakukan di Teluk Mutiara.

Hidupku lebih banyak di perairan dekat pulau Pura Tereweng, berpuluh-puluh mil dari Alor Besar. Bersama laut yang indah, dengan segala biotanya. Bersama lumba-lumba. Bersama alam yang masih perawan, dengan pohon kelapa yang menjulang. Bersama udara yang masih pekat, begitu segar. Bersama bagan keramba ikan. Bersama senja yang magis. Bersama bulan dan ribuan bintang, kala malam. Bersama ayah, ibu dan 4 saudara. Bersama paman dan bibi, serta kerabat hasil mereka beranak pinak. Juga seorang kakek, sahabatku bercerita, tempatku mendengar.

Kami, para lelaki adalah penyelam yang handal. Pencari mutiara. Sementara, perempuan kami bekerja sebagai penumbuk kemiri atau biji kacang. Tak satupun dari kami yang bersantai. Demi sebuah hidup yang entah seperti apa nantinya.

Pekat kabut yang menyelimuti Alor besar dan teluk mutiara mulai tersingkap seiring mendekatnya perahuku ke pelabuhan. Di tempatku berdiri, aku melihat banyak orang-orang berbeda dengan ku. Yang biasanya datang menggunakan kapal veri. Kapal yang jauh lebih besar daripada sampan kami. Tapi, mereka lebih banyak mengunakan pesawat perintis yang mendarat di Mali. Konon, kapal itu membawa mereka dari Kupang, hingga sampai ke Alor. Sebelum dari Kupang, entahlah…

Mereka, yang datang ke pulau ini, orang-orang bertubuh tinggi menjulang. Dari belahan barat, jika Indonesia disebut timur. Dari belahan utara, jika Indonesia disebut selatan. Merekalah yang lebih banyak membeli mutiara-mutiara kami. Tapi, tentu saja, kami tak langsung menjualnya kepada mereka. Karena telah ada majikan yang menunggu hasil mutiara yang kami bawa. Entahlah berapa uang yang kami dapatkan.

Orang bertubuh tinggi menjulang itu, dengan wajah yang tirus dan warna rambut kuning keemasan. Sangat kontras dengan kulit kami yang mendekati legam. Biasanya kami hanya melempar senyum. Karena kami tak pernah mengerti bahasa yang mereka gunakan. Ah, mungkin merekapun tak mengerti yang kami ucapkan. Mereka begitu suka menyorongkan benda berwarna hitam berbentuk kotak pada badannya dan berbentuk tabung pada bagian depan, ke arah kami. Bunyinyapun sangat aneh, cekrek… cekrekkk… Mereka menamainya kamera. Belakangan ada yang digital. Dengan harga yang bervariasi. Mulai dari satu juta hingga 20 jutaan. Lebih gila lagi harga barang elektronik bernama handycam, laptop, ah, dan yang saat ini lagi In, Blackberry… Banyak sekali. Aku sering melihatnya dari surat kabar dan majalah yang aku dapatkan bulan lalu, yang diterbitkan dua bulan sebelumnya.

Dengan sigap, aku melompat ke daratan, saat perahu kami menepi. Membantu bapakku menurunkan sejumlah barang. Ya, selain membawa mutiara, perahu kami juga membawa lima karung kemiri.

“Nak, pergilah mencari surat kabar pesanan kakekmu,” Teriakan tak ramah ayahku menghentikan kegiatanku yang berusah payah memikul sekarung kemiri kupas. Sontak, pamanku, Linus, menurunkan kembali karung kemiri kupas tadi dari punggungku.

Aku berlari, menuju daratan. Mendatangi sebuah toko kecil yang lebih mirip kios milik Yustinus. Kios terbuat dari gerobak. Beroda dua, berkaki tiga.

“Kakak, adakah Koran yang datang pada hari ini?” Sapaku pada laki-laki setengah baya tapi telah beruban di depanku ini.

“Ah, Kau,.. seperti tak pernah tahu saja jika pulau kita ini hanya mendapatkan pasokan surat kabar sebulan sekali. Dan pastilah beritanya sudah basi.” Sergahnya sambil menyorongkan setumpuk Koran berbagai jenis dan judul kepada ku. Aku hanya tertawa mendengarkan gerutunya.

“Untuk apakah kau membacanya, Nak?” Tanyanya.

“Aku ingin pandai, kakak.” Jawabku pendek, sambil membuka-buka Koran terbitan jakarta.

“Jadi apakah kelak kau jika pandai? Dan berapa lamakah kau membutuhkan waktu akan pandai? Sekolahmu saja harus menunggu guru yang datang untuk mengajar. Lebih sering libur karena alasan badai laut.” Gerutunya tanpa memandangku dan tetap focus pada pekerjaannya.

Aku tergelak mendengar keluhannya. Ya, di pulau ini, para guru sering kali tidak mengajar jika badai laut datang. Atau juga hujan yang sangat lebat. Aku sering kali harus menunggu sendiri di kelas. Karena di kelas ku itu, teman-teman seusiaku akhirnya malas pula masuk sekolah. Mereka mengatakan sia-sia. Mereka lebih suka melaut bersama orang tuanya. Murit yang malas dan guru yang tak peduli,…

“Aku akan menjadi pemimpin negeri ini, kak,” Jawabku sambil memainkan mata dengan jenaka.

“Hah, bisakah kau menggantikan laki-laki tua itu? Sejak aku kecil, bahkan sejak ayahku bujang, laki-laki itu saja yang menjadi presiden,” Aku mengernyit.

“Soeharto?” Gumamku, tak yakin dengan dimaksudnya.

“Siapa lagi? Bukankah dia masih menjadi presiden?” Sergahnya tak peduli. Aku tertawa sekaligus sedih. Meski bekerja di sekitar pelabuhan Kalabahi, laki-laki berambut keriting yang tinggal di pedalaman pulau Pantar Alor itu sama sekali tak tersentuh informasi. Kekayaan dan keindahan alor tak membuatnya, dan kami, turut merasakan kenyamanan seperti yang diberitakan. Tentang diving, tentang snorkeling. Permainan-permainan yang banyak dilakukan orang-orang tinggi menjulang itu. Di Pulau Kepa, atau Teluk Mutiara, atau Alor Kecil, atau, entahalah, banyak sekali tempat yang mempesona di pulau ini. Tapi kami, tetap saja harus bekerja keras menghindari kelaparan, meski tetap terjerat kemiskinan.

“ Tidakkah kakak ikut pemilu presiden tahun 2004 lalu? Bahkan sebelumnya, presiden kita telah berganti tiga kali, Kak, setelah Soeharto.” Aku mengingatkannya.

“Ah, masa? Ku kira, sama saja. Lalu siapa presiden kita sekarang? Tidakkah kau merasa mereka mirip?” Jawabnya tetap tak peduli.

Iya kakak, mereka sama, batinku. Tidak hanya presiden yang sekarang berkuasa yang mirip dengan presiden Soeharto. Tiga presiden sebelumnya juga sama saja. Kau, aku, dan semua penduduk di Alor ini, tanpa pernah mencecap madu pembangunan, telah menanggung hutang Negara pada lintah darat IMF tanpa pernah tahu telah kita apakan uang pinjaman itu? Akibat ulah mereka. Pertumbuhan dan peningkatan sisi ekonomi sebagai keberhasilan pemerintah, yang digembar-gemborkan di sejumlah Koran dan majalah yang aku baca bulan lalu, sama sekali bullshit! Sebab hidup kami tetap saja seperti ini. Diantara kubangan kekurangan dan kemiskinan. Meski kami tetap bahagia. Terpaksa bahagia,…

“Kakak, bahkan kita akan memilih presiden lagi, beberapa hari lagi,” Aku menjelaskan.

“Ah, mengapa dipilih lagi? Apa pengaruhnya bagi kita? Tokh kita, sejak turun-temurun, beginilah nasibnya. Tak berubah. Malah semakin sulit. Orang-orang berkulit putih itu banyak datang kemari. Katanya membayar untuk melihat kehindahan Alor kita. Tapi apa yang ku dapat tokoku tetap saja seperti ini, toko peninggalan ayahku. Malah kemarin aku diberinya surat pemberitahuan penggusuran. Katanya karena tokoku ini tak elok dipandang. Semacam kaki lima atau apalah dia kata. Sudah ku bilang, kaki masih ada dua, kenapa disebut lima? Nah kau, nak, orang-orang yang memberiku surat itu katanya orang berpendidikan. Tapi tak bisa membedakan jumlah kaki seseorang. Beruntunglah dia tak sebut aku berkaki empat macam hewan. Kalau sampai terlontar, ku panggil kawan-kawan sekampungku, ku suruh serang, dan kita berperang,” Protes polosnya semakin membuatku termangu.

Dia benar. Tak ada yang berubah dalam kehidupan kami. Meski presiden telah berganti. Meski wakil rakyat berganti. Koran dan majalah yang aku baca, sebulan sekali datang. Sepeda motor hanya dikenal di masyarakat pelabuhan kalabahi atau ibu kota mali. Selebihnya, kami mengenal kaki sebagai alat transportasi.

Dulu, waktu jaman pak Tua itu, kami dipaksanya makan nasi. Demi alasan kesejahteraan. Padahal, tanah kami tak bisa menghasilkan padi. Kami bahkan harus muntah selama berbulan-bulan untuk belajar makan nasi. Sekarang, setelah semuanya terbiasa, kami harus menunggu pasokan dari jawa atau tempat lain.

Aku melangkah gontai. Tetap membawa setumpuk Koran dan majalah yang aku pesan tadi. Pikiranku berkecamuk. Memikirkan kembali cita-citaku. Menjadi orang pandai? Menjadi pemimpin negeri ini?

“Pandai saja tidak cukup cucuku, negeri ini telah dipenuhi orang pandai. Tapi tak pernah selesai juga urusan pencurian. Mulai dari pencurian karena urusan perut, sampai pencurian karena urusan serakah,” Itu dikatakan kakekku, saat aku mempertanyakan kenapa aku harus pandai. Di suatu malam saat aku tak bisa lagi menemukan jawaban atas pertanyaan Yustinus.

Ya, Kakeklah yang memintaku untuk menjadi orang pandai. Selalu membaca. Mencekoki ku dengan buku-buku tua yang disorongkannya padaku. Buku-buku koleksinya, yang entah didapatkan dari mana. Membaca Koran-koran juga majalah atau apa saja. Bahkan ia mengajariku membaca situasi, membaca tanda-tanda alam, membaca otak-otak culas atau juga membaca penderitaan orang lain.

“Terlalu banyak kepura-puraan yang dibangun di negeri ini, nak. Kebenaran ditutupi demi kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat. atas nama proletar,
atas nama kaum buruh dan pekerja. Atas nama kaum tani dan kaum miskin. Atas nama warna kulit atas nama bangsa atau etnis. Atas nama entah apa lagi,” Itu diceritakannya sebagai dongeng sebelum tidur, di malam-malam sebelumnya.
“Semuanya, cucuku, meletakkan kekuasaan sebagai tujuan. Orang-orang pintar itu, tak pernah miris dengan berpuluh juta korban yang berjatuhan yang diakibatkan. Dan mereka yang berlabuh di singgasana kekuasaan, mengabaikan yang diatasnamakan tadi. Sibuk mengurusi kekuasaan, selingkuh dan memperkaya diri. Mereka bersandiwara dan main komedi,” Itu dikatakannya sambil menatap jauh ke depan. Memandang bintang-bintang di langit kami yang belum tercemar dengan cahaya lampu.
“Jaman ini, atau jaman lalu. Tak ada yang berubah, nak. Sesuatu yang ideal justru digerus jaman. Tengoklah Tan Malaka, orang pertama yang mempunyai ide tentang republic ini. Naar de Republic. Ia, tak pernah menjadi apa-apa. Ia dikhianati oleh orang-orang yang justru menggunakan otaknya untuk memimpin negeri ini. Haha, kuburannya saja tak pernah ditemukan,” Ada nada kemarahan saat ia mengucapkan rangkaian kata terkahir ini.
“Lalu kenapa aku harus pintar, Kek. Tidakkah kakek takut aku seperti mereka?” Tanyaku heran. Lebih heran lagi dengan penjelasannya.
“Untuk sebuah perubahan, cucuku. Kau akan membunuh semua orang yang telah menjual Negara ini. Kau akan memotong generasi yang memperkosa nusantara ini. Karena keserakahan berbungkus intelektualitas mereka hanya akan dilawan dengan kepintaran pula. Tidak dengan kebodohan,” mata tua itu menyorot syarat harap.
Kakek, yang selama ini ku kenal hanya memegang kail untuk memancing ikan di laut lepas, dan sesekali mencatat tentang sajak-sajak di sebuah buku usang. Kakek yang hanya mengeluarkan satu persatu buku yang disimpannya di sebuah peti tua. Untuk ku baca. Menjawab sesekali tentang yang tak ku mengerti dari buku-buku tua itu. Dan lebih suka berbicara banyak saat aku beranjak tidur. Menceritakan tentang nusantara sebagai dongeng. Bumi pertiwi yang sakit. Yang dikhianati oleh anak-anaknya sendiri…
“Tenanglah, kau tidak sendiri. Orang-orang terlupakan itu telah mempersiapkan titisan mereka untuk berjuang bersamamu. Hampir di seluruh negeri ini. Kau akan terhubung dengan mereka, suatu saat nanti. Kami memang harus menunggu dan bersabar. Untuk melakukan perubahan ini.
“Kelak, saat terjadi revolusi, buatlah revolusi yang sempurna. Jangan seperti beberapa perubahan yang terjadi selama ini. Entah revormasi atau orde baru, yang tampak seperti orang operasi Caesar. Tuntaskan semua, cucuku, karena perubahan ini untuk kekekalan,” Tatapnya semakin jauh ke depan, ke laut lepas.
“Lalu siapa kakek, sebenarnya?” Tanyaku penasaran.
“Aku, termasuk dari orang-orang terlupakan itu,” Jawabnya sambil bernafas, berat.



Untuk Negeriku, yang tidak hanya membutuhkan sekedar revormasi. Tetapi lebih jauh dari itu, Revolusi!