Selasa, 23 Desember 2008

Menyapa Tuhan Sedekat Bahasa Sehari-hari

Dewi Ch. Ummah

Perayaan misa natal di GKJW Desa Sumber pakem Kecamatan Sumber Jambe, berlangsung hikmad. Berbeda dengan gereja lainnya, gereja protestan ini menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa pengantarnya.


… Partolongan se eterema se’engkok, asalah dari Pangeran, se abadih alam sadajah…

Langkah-langkah kaki semakin cepat saat mendengar lonceng Gereja yang berdentang bertalu-talu. Suasana hikmad menyelimuti, saat jemaat memasuki ruangan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Ruangan berkurukan 60 meter persegi itu, seketika dipenuhi oleh umat kristiani. Perempuan dan laki-laki, tua hingga balita. Dentingan piano disambut dengan sahutan lagu-lagu rohani pada perayaan misa natal di hari nan kudus, Rabu (24/12) sore ini.

Sekilas, GKJW yang terletak di Desa Sumber pakem Kecamatan Sumber Jambe tak berbeda dengan gereja-gereja lainnya. Lonceng besar terpasang pada atapnya. Salib besar terpajang di atas altar bertuliskan aksara jawa. Barisan kursi kayu dan plastic, lebih menandakan kesederhanaan gereja berusia lebih dari seabad itu. Jemaatnya tidak terlau banyak, hanya sekitar 300 orang, yang sebagian besar adalah penduduk asli.

Tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, gereja yang terletak di dataran tinggi itu menggunakan bahasa yang sangat local dalam penyampaiannya, bahasa Madura. Lagu Rohani, khutbah Pendeta, serta komunikasi yang digunakan, kesemuanya, berbahasa Madura.

“Ibadah dengan Bahasa Madura memang digunakan sejak pertama, di tahun 1882,” Demikian dikatakan pimpinan GKJW Sumberpakem, Romo Sapto Wardoyo.

Di tahun itu juga, Sapto menceritakan, sekaligus menandai datangnya agama Kristen di daerah Sumber Jambe. Pendeta pertama yang membawakan adalah orang Belanda. Saat itu, komunitas masyarakat yang hidup di kawasan itu tidak ada yang mengenal bahasa lain, selain bahasa Madura.

“Komunitas kami waktu itu, semuanya orang Madura, kami tidak mengenal bahasa lain selain bahasa Madura,” Tuturnya

Sehingga, agar lebih efektif, Sapto menuturkan, penyebaran dan pemahaman masyarakat terhadap ajaran Kristus itu, sang pendeta juga menerjemahkan Al Kitab dalam bahasa Madura. Hanya saja, al kitab pertama kali yang dibuat itu dalam bentuk tulisan ana caraka (Madura).
Lebih lanjut, Sapto menceritakan, gereja dengan menggunakan bahasa Madura itu hanya satu-satunya di Indoensia, bahkan di dunia. Di pulau Madura sekalipun, Sapto menceritakan, tidak ada satupun gereja yang menggunakan pengantar bahasa Madura.

Penggunaan bahasa Madura ini terus dilestarikan hingga kini. Hal ini sengaja dilakukan, Sapto menegaskan, untuk melestarikan budaya, bahasa, sehingga tetap lestari.

“Saya nggak khawatir ditinggal jemaat, karena jemaat kami memang rata-rata orang Madura,” Tegasnya.

Untuk mengimbangi perkembangan zaman, Sapto mengaku, sesekali menggunakan pengantar bahasa Indonesia dan bahasa Madura.*

Jumat, 08 Februari 2008

‘Memandikan’ Para Dewa di Halaman Vihara Pay Lien San


Jember-Setelah setahun ‘bertugas’ menjaga keseimbangan bumi dan jagat raya, akhirnya ‘Dewa-Dewi’ punya waktu untuk melepas penat. Dewa-Dewi tadi berkesempatan untuk memanjakan dirinya dalam harumnya air bunga mawar yang diseduh dengan aroma kayu cendana. Dewi Kwan Im, Sang Budha, Dewa Langit, Dewa Bumi, Dewa Laut, Dewa Naga dan Dewa-Dewa lainnya ‘antri’ mandi di Halaman Vihara Adi Padma – Pay Lien San, Kecamatan Sukorambi, Jember, Jawa timur.

Ritual itulah yang dilakukan umat Tri Dharma, Jum'at (1/2) tujuh hari menjelang Tahun Baru Imlek 2559. Dengan Penuh Suka cita, mereka memandikan patung-patung Dewa-Dewi pelindung mereka. Pemandian 'dadakan' itupun dipenuhi oleh patung-patung dalam berbagai bentuk dan ukuran. Secara detail, patung-patung itu tidak luput dari gosokan kuas pembersih. Setelah digosok, patung-patung tadi dicelupkan pada air mawar. Dewa-Dewi tadi sempat berendam dalam hangatnya air cendana, selama beberapa menit, sebelum akhirnya dilap dengan handuk hangat.

"Ritual memandikan patung para dewa itu dilakukan seminggu menjelang Tahun Baru Ilmek," Ungkap Salah satu pengelola Vihara Adi Padma, Hendra Saputra.

Menurut kepercayaan umat Tri Dharma, Hendra menjelaskan, tujuh hari sebelum Hari Raya Imlek, para dewa-dewi menghadiri pertemuan di khayangan. Mereka terbang menuju khayangan untuk melaporkan perkembangan umat manusia, bumi dan jagat raya kepada Sang Pencipta. Dalam kondisi ‘kosong‘ itulah, umat Tri Dharma, diwajibkan untuk membersihkan patung-patung tadi dari segala kotoran yang menempel selama setahun belakangan.

"Saat para Dewa itu kembali ke Bumi, mereka telah dalam kondisi bersih dan bersuka cita untuk kembali melayani umat manusia dan alam semesta," Lanjut Hendra.

Hendra menjelaskan, terdapat 16 macam Dewa dalam Kepercayaannya yang harus dimandikan sebelum perayaan Imlek. sementara, dari satu Dewa saja viharanya menyimpan sedikitnya 20 bentuk dan ukuran. Ritual memandikan patung itu sendiri diakui Hendra harus satu persatu. Sehingga, kegiatan itu praktis memakan waktu.

Kegiatan memandikan para dewa ini merupakan rangkaian pertama dalam ritual keagamaan Umat Tri Dharma menjelang Tahun Baru Imlek. Berbagai macam kegiatan dan hiburan biasanya akan digelar menyambung rangkaian perayaan Imlek. Biasanya, beberapa umat menyumbangkan hiburan rakyat Wayang Pho The Hi, untuk umat Tri Dharma dan masyarakat Sekitar. Kegiatan akan semakin ramai hingga sehari menjelang Imlek. Saat itulah umat agama yang terdiri dari Budha, Konghuchu dan itu memadati vihara untuk berdoa. Berbagai macam ritual itu, baru ‘berakhir’ setelah perayaan Cap Gomek, Seminggu berikutnya.

Sabtu, 05 Januari 2008

Inspirasi

Mengaji pada Sosok Pramudya

Berkali-kali ia "dibenamkan". Dalam Penjara jaman Orde Lama dan Orde Baru. Ia dinilai sejenis hantu, seperti virus. Seperti halnya ajaran Komunisme, Ia ditekan, bahkan "dibunuh" berkali-kali. Dijadikan "common enemy" oleh Orde Baru. Terakhir penderitaannya di tempat pembuangan biadab di Pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979).
Dalam wacana sastra Orde Baru, ia -seperti juga jutaan tapol lain di Indonesia- dianggap tak pernah ada. Ia tak pernah lahir, bernafas apalagi berkarya di Indonesia.

Tetapi, kegetiran yang dirasakannya justru dibalas dengan cara yang sangat beradab: melahirkan sejumlah karya gemilang. Menerbitkan sejumlah karya berkelas "sastra Nobel". Begitulah barangkali cara laki-laki kelahirlan Blora itu mengajarkan kebajikan kepada bangsanya.
Tak tampak satu pun kebencian pada bangsanya. Ketika ia harus makan bangkai tikus, cecak dan daging kuda yang terserang antrax, lamunannya justru melayang jauh ke jaman-jaman kegelapan sejarah bangsa Indonesia yang disembunyikan rapat-rapat oleh penguasa.
Ia tak mengeluh, hanya sesekali memaki, lewat sejumlah karyanya. Kecintaannya pada manusia Indonesia yang tersingkir, terkucil, jadi obyek, tapi tetap berupaya terus eksis begitu tinggi. Ia mencintai kemanusiaan begitu dalam Kita bisa melihat hal ini dari sejumlah karyanya mulai dari Perburuan, Keluarga Gerilya, Di Tepi Kali Bekasi hingga "tetralogi" Bumi Manusia.

Dan, disinilah letak kehebatannya. Semakin ditiadakan, ia semakin ada. Semakin eksis dalam ketiadaannya. Orang berebut membaca tulisan-tulisannya. Buku-buku karyanya yang selalu dilarang, laris seperti kacang goreng. Berkali-kali namanya disebut-sebut sebagai calon pemenang Nobel. Sejumlah lembaga sastra internasional juga mengangkatnya sebagai anggota kehormatan sebagai penghormatan atas dedikasinya pada dunia sastra.

Pramoedya Antanta Toer adalah sebuah fenomena anomali dalam bingkai politik Orde baru. Pram adalah seorang humanis tulen, sebagaimana sosok Multatuli yang dikaguminya habis-habisan.

Telaah:

Kalau Pram berjuang lewat kata dan karya yang begitu gemilang, aku masih bisa memahaminya. Sebab ia memang begitu dikotak dan dibuang, sehingga satu-satunya perjuangan yang disumbangkannya hanya sel-sel kelabu dalam otaknya yang begitu cair.
Tapi, apakah cara itu menjadi "efektif" ditengah-tengah sistem pemerintahan Indonesia yang dibikin "buta" dan "tuli", sementara tangan dan kaki kita tak terbelenggu oleh apapun? Jangankan yang hanya menghiba lewat kata, masyarakat yang menjerit lewat kelaparan, kemiskinan dan kebodohanpun tak pernah didengarkan.
Manusia-manusia tertindas yang begitu dicintai Pram itu, terus saja berkubang dalam ketiadaan.Di sisi lain, sudah terlalu banyak konsep dan teori untuk mengatasi semua masalah tanpa masalah. Kenyataannya?