Senin, 28 Desember 2009

Cermin

Senja Medinah

Lengang.
Aku bersimpuh di kebun belakang. Di depan batu nisan bertuliskan namamu. Yang sedang bersanding bersama karibmu. Ah, kalian benar-benar sehidup semati. Hanya selang hari engkau menyusul kawan yang lebih dulu menghadap ilahi. Aku iri.

Pilu menyapa.
Celoteh burung perenjak terdengar dari kejauhan. Celoteh yang selalu membuatmu tenang duduk menunggu ilham. Di kursi malas, ditemani buku-buku. Saat sore semacam ini, biasanya engkau sedang minum teh. Bersamaku. Menikmati hembusan angin yang menjadi dingin di ambang sore nan layu.

Tak kan ku ubah kebiasaan itu, Mas. Karena itu, ku bawakan engkau seteko teh tubruk kesukaanmu. Menuangkannya dalam dua cangkir. Menyuguhkan satu untukmu, satu untukku.

Ah, biarkanlah sahabat karibmu, yang juga ditanam di pekarangan ini tertidur. Biarkan aku yang menemanimu sore ini. Kembali menikmati secangkir teh. Bersamamu. Ditemani kudapan yang ku beli dari pasar, siang tadi.

Mas,..
Ah, kau selalu marah saat ku panggil dengan sebutan itu. Tidak egaliter katamu. Tidak menunjukkan kesetaraan. Apalagi, katamu, aku adalah seorang yang berkesadaran, aktifis dan seniman perempuan. Tapi biarlah mas, di hadapanmu, aku tidak egaliter. Bukan untuk menganggapmu superior. Tapi lebih karena aku memujamu. Mencintaimu.

Saking cintanya aku padamu, mas, aku bahkan tak bisa berfikir normal. Bersikap normal dalam mengekspresikan rasa. Normalnya perempuan yang merasa cemburu saat melihat suaminya mengangkangi perempuan lain di sudut ruang meditasi, di semak pohon bamboo dekat sungai buatan, pekarangan rumah. Tempat yang sama, saat kita mengunjungi pucuk-pucuk asmara. Asmara, yang membuatku selalu menanggung rindu. Bahkan rindu itu ada, hingga kini, saat kau telah kembali ke tanah bersama peluh.

Tapi mas, jangan dikira hatiku tak terbakar, waktu ku lihat gelagat perempuan ranum seusia kakak anak perempuan kita, bergeliat manja mencuri birahimu. Aku cemburu. Saat kau membimbingnya mengeluarkan ekspresi terjujur untuk sebuah acting seni. Aku cemburu. Saat bahasa tubuhmu memperhalus gerakannya yang masih kaku disetiap latihan-latihan. Aku cemburu, saat kau memuji keistimewaan seni perempuan itu. Aku cemburu, saat kau tak berkedip melihatnya menari dengan gemulai. Sambil berpuisi. Saat memerankan naskah terbarumu. Yang diilhami kehadirannya.

Dan tak hanya satu perempuan, mas. Tak hanya satu perempuan yang ku ketahui intim denganmu. Bahkan disetiap ada pemain baru, murid baru, matamu selalu awas dan cergas memilih. Hingga suatu ketika aku bertanya, adakah kau juga merasa birahi pada anak perempuan kita yang kini menginjak masa dewasa?

Sungguh, aku marah dan cemburu. Tapi siapalah aku ini, mas. Akupun tak jauh beda dengan perempuan-perempuan tempatmu mencari inspirasi itu. Aku adalah perempuan ketiga dalam hidupmu. Yang kau kawin sebelum istri pertamamu meninggal dunia. Bahkan aku tetap berbagi kamu, dengan istri keduamu. Ah, mas…

Kenyataan ini menamparku. Aku seolah melihat cermin saat melihat perempuan-perempuan itu. Bagaimana aku begitu sangat bergelora mendengar rayuanmu melalui puisi dan naskah-naskah cinta yang kau buat untuk ku atau juga untuk negerimu. Aku juga sumber inspirasimu kan?

Orang bilang, aku terlalu memujamu. Sehingga aku hanya diam melihat tingkahmu dengan perempuan-perempuan muda itu. Bahkan sebagian dari mereka menganggapku bodoh. Aku bukan tidak mendengar gunjingan itu. Ah, persetan dengan rasan-rasan itu. Kalau saja mereka tahu, aku hanya tak tahu caranya marah kepadamu atau kepada perempuan-perempuan itu. sehingga yang bisa ku lakukan hanya bersikap dingin pada perempuanmu yang lain. Bagaimana mungkin aku marah pada cermin diriku sendiri?

Sekarang, ijinkan aku bercerita. Mas, semalam gadis kita bercerita ia berencana menikah dengan laki-laki beristri. Seniman. Usianya lebih dari separoh usia gadis kita. Ah, mungkin kau juga mengenalnya. Ya, kau pasti mengenalnya. Kau pasti mengenal juniormu di kampus dulu, sesama pegiat kampus, pegiat seni, pegiat jalanan…

Gadis kita itu mengatakan betapa ia telah jatuh cinta. Kata cinta itu diucapkan dengan gairah muda yang juga tak bisa ku bendung dulu, kepadamu. Ia bahkan tak takut-takut saat mengatakan padaku. Sama beraninya seperti saat aku bersikeras menentang larangan orang tuaku untuk menikahimu. Dengan getir harus ku katakan, anak kita itu bahkan dengan bangga memamerkan lelakinya padaku. Anak kita itu bahkan tidak meminta ijinku. Hanya memberi tahu, tanpa bertanya apakah aku berkenan atau tidak.

Tentu mas, aku tahu, aku ingat. Kita tidak pernah mendidik mereka inferior di bawah kita. Kita selalu memperlakukan anak-anak kita egaliter. Kita membiasakan mereka tidak harus meminta ijin atas apa yang mereka lakukan. Kita membuat mereka selalu harus bertanggung jawab pada keputusan pribadi dan perbuatan mereka sendiri. Tapi mas, taruhlah aku sebagai sahabat, tidakkah ia seharusnya menghitungku untuk memberikan pertimbangan?

Ah, mas,.. Sebetulnya aku tak pernah tahu harus bicara apa kalau saja gadisku itu meminta. Sejujurnya aku tak tahu harus bersikap bagaimana kalau saja ia bertanya. Inikah karma? Ah, mas. Kau tahu aku tak pernah mempercayai karma.

Aku hanya melihat cermin. Saat tanpa sengaja ku lihat ia sedang memompa adrenalin di bawah rumpun-rumpun bambu samping rumah. Bersama lelakinya. Tempat yang sama saat kau beradu cinta denganku atau dengan perempuan-perempuan lain. Meski aku tetap bernafas lega, ia tak mengambil tempat meditasimu, yang belakangan lebih sering ku gunakan untuk mengenangmu.

Tahukan engkau mas. Saat sendiri seperti ini, membuat rasa cemas lebih cepat datang. Meski aku tak pernah didamprat oleh kedua istrimu, tetapi aku bisa merasakan rasa tidak senang yang bersarang di hati mereka. Terutama oleh istri keduamu. Maka pengalaman itu membuatku was-was, kalau-kalau anak kita didatangi istri pacarnya. Kalau-kalau ia didamprat, seperti yang banyak terjadi di sinetron-sinetron murahan yang malas kita tonton.

Sekarang katakanlah padaku, mas. Apa yang akan kau lakukan atas kenyataan gadis kita itu? Sungguh aku tak mempunyai ide atas cermin retak yang ada di depanku kini.

“Bu,..” Oh, tidak… Mas, haruskah ku tolehkan wajahku pada gadis kita itu. Sementara mataku telah basah dan hidungku penuh dengan iluh,.. “Aku keluar dulu dengan mas Baskoro. Mungkin menginap,” Oh, Mas. Haruskah ku jawab iya? Atau bolehkan aku berkata tidak?

Di sela-sela kangen yang aku rasakan menggunung padamu, ada rasa marah, cemas dan tak nyaman, padamu juga pada diri sendiri, yang siap meledak di hatiku.

_***_

Selembar Bendera untuk Garuda

Senja Medinah

“Nda, semalam aku bermimpi,” Celoteh cempreng gadis kecil berambut sebahu itu meminta perhatian. Aku menoleh sekelebat.

“Oh ya? Mimpi apa?” Tanyaku ikut bersemangat agar antusiasnya tak padam. Aku melihat wajah bulat bermata bening telaga itu sedikit berpikir. Menghentikan sejenak kegiatannya memasang kaus kaki berwarna putih ke kaki kirinya.

“Mimpi rumah panjang yang bunda ceritakan semalam,” Jawabnya menggantung. Aku tahu ini akan menjadi cerita yang sedikit panjang. Ah, anakku itu benar-benar merasukkan dongeng itu dalam benaknya. Aku menunggu. Ia melanjutkan kegiatan memasang sepatu.

Dongeng rumah betang. Tentu saja ini cerita istimewa. Berkisah tentang kehidupan suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Ku ambil dan kuadaptasikan dari serumpun artikel dan film documenter yang pernah ku lihat. Film berjudul Long Life Though The Long House itu rencananya malah ingin ku perlihatkan padanya sepulang sekolah nanti.

“Aku bermimpi punya nenek yang suka bercerita. Bercerita sambil menggumam-gumam seperti yang bunda ceritakan itu. Aku mimpi dia bercerita langsung padaku. Di rumah betang itu,” Celotehnya tanpa mengurangi konsentrasi memasukkan kakinya pada lubang sepatu.

Dalam dongeng yang ku kisahkan semalam, aku bercerita tentang seorang nenek yang sedang dikelilingi gadis belia seusianya. Ditemani bapak dan ibu mereka masing-masing. Nenek berwajah tirus dimakan usia itu sedang bedudu (bertutur / cerita nasehat). Seluruh penghuni rumah panjang yang terdiri dari beberapa keluarga itu mendengarkan dengan hikmad. Ku katakan padanya, tradisi ini masih lestari digunakan orang-orang dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan Barat.

Aku teringat, sempat memperlihatkan peta Kalimantan pada Salma, sebelum memulai cerita. Menunjuk salah satu kawasan bernama Sintang, tempat tradisi itu masih dilestarikan. Salah satu kawasan orang-orang Dayak itu tinggal dan istiadat masih disemai. Selain menunjuk beberapa tempat lain, seperti Ibu Kota Propinsi, Pontianak. Ini strategi pelajaran geografi yang selalu gagal ku nikmati dengan baik, saat di bangku sekolah dahulu.

“Bukannya nenek Salma juga suka mendongeng jika berkunjung ke sana?” Tanggapku seraya meletakkan sarapan pagi untuknya di sebuah meja kecil. Segelas susu panas yang baru saja diperah mengepul dari gelas keramik favoritnya. Gelas keramik buatan tangannya sendiri.

“Nggak Nda, dalam mimpi itu bukan Eyang yang cerita. Tapi orang lain. Nenek yang katanya bunda punya tiga kerut di wajahnya. Yang rambutnya putih seputih salju, digelung ke belakang. Yang kurus, yang suka makan rotan. Tumis rotan. Nenek yang katanya bunda suka bercerita tentang anak-anak yang suka belajar itu,” Suaranya meninggi, bersemangat. Aku mengulas senyum, mengangguk. Ku kira, aku juga sering bermimpi dongeng-dongeng yang sering diceritakan Ibu, dulu. Otak nakalku meloncat, mungkin ia bermimpi makan tumis rotan muda, atau mimpi makan kursi goyang di rumah Eyangnya yang terbuat dari rotan? Hahaha…
***
“Nun, jauh masuk ke dalam hutan. Di sebuah daerah bernama Sintang. Berdirilah sebuah rumah yang sangat panjang. Rumah itu ditinggali sekitar 27 keluarga. Jika satu keluarga terdiri dari 4 orang, maka berapakah jumlah seluruh orang yang ada di rumah itu?” Tanyaku memulai cerita, sambil mengusap-usap kepalanya.

Ah, ia tak kehilangan kecerdasannya meski dilanda kantuk, “Seratus delapan,” Jawabnya. Aku mengecup keningnya, seraya membisikan pujian tak berlebihan untuknya.

“Di rumah bernama Rumah Ensaid Panjang itu, seorang perempuan yang mempunyai rambut serba putih keperakan, di kelilingi oleh anak-anak kecil sepertimu. Perempuan itu memiliki tiga kerut di dahinya. Beberapa kerut lagi di dekat matanya, juga mulutnya. Usianya sekira 65 tahun. Tapi, perempuan itu masih lugas untuk berkisah. Berkisah tentang sebuah hikayat, diantara ratusan dongeng yang sering diceritakan di rumah betang,” Aku melanjutkan. Ia mendengarkan dengan khuyu’.

“Nenek-nenek?” Tanyanya polos. Aku mengangguk. “Tapi, Eyang rambutnya kok nggak putih semua, Nda? Masih legam, bagus banget. Meskipun, Salma pernah nemu ada yang warna putih? Tapi nggak banyak,” Ini distorsi yang akan memperlama proses bercerita. Tapi aku menyukai sela ini. Karena ku kira, ini menunjukkan kecakapannya mengenali sesuatu dan jeli pada sekitarnya.

Serta merta aku akan menjelaskan beberapa hal, mulai dari faktor usia, penjelasan sedikit ilmiah tentang genetika, yang dibuat seringan mungkin atau juga proses kimia yang mungkin dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya telah berambut putih. Ia akan kembali ke topik awal, jika merasa penjelasanku cukup memuaskannya.

“Diterangi sebuah pelita, Berkisahlah nenek itu;

“Lagu ini akan terdengar di begitu banyak pintu.
Di rumah betang Ensaid panjang.
Di halaman depan dan jalan yang panjang.
Saya kasihan dengan kalian semua.
Tapi tak ada yang bisa saya katakan,
hanya melalui bedudu (cerita nasehat) ini saya berbisik,”

Aku memutar instrument Sampe’ Dayak Klasik. Instrument yang didominasi oleh alat musik petik bernama Sampe’ dengan dawai berjumlah tiga atau empat. Sesekali terdengar Kadire turut memberikan daya magis pada instrument yang diperdengarkan. Ku antarkan dia berimajinasi agar memiliki gambaran yang lebih mendalam pada kisah yang ku ceritakan. Saound system yang hanya berada di pojok-pojok kamar dengan volume yang tak terlalu keras membuatnya semakin menikmati cerita. Sejurus kemudian, Ayah Salma ikut bergabung. Turut memeluknya dari arah kanan.
***
“Terus?” Tanyaku tak ingin menyurutkan semangatnya bercerita.

“Terus, dalam mimpi itu tiba-tiba Salma mau diantar sekolah sama Ayah. Tapi Salma menolak. Karena kawan-kawan Salma nggak ada yang diantar orang tuanya,” ia melanjutkan. Kali ini ia beringsut ke meja kecil tempat sarapan paginya.

“Waktu jalan bareng teman-teman, Salma justru malu pakai sepatu. Karena semua teman Salma bertelanjang kaki.” Ceritanya terdistorsi beberapa suap nasi yang meluncur tergesa ke mulutnya.

“Nah, akhirnya, sepatu yang Salma pakai, ku lembar ke angkasa,” Intonasinya meninggi. Ia menghentikan kegiatannya mengunyah omlet dengan potongan sayur dan tomat, demi melanjutkan cerita ini.

“Ternyata, Sepatu itu terlempar ke burung yang sedang terbang. Burungnya persis dengan burung yang dipajang di kelas, di sekolah. Itu lho Nda, burung yang dipajang di atas papan tulis, ada di tengah, sedikit lebih tinggi diantara gambar presiden sama wakil presiden,” Jelasnya bersemangat, sekaligus bingung.

Aku tertegun. Burung Garuda?

“Salmaaaaa, nanti terlambat,” Terdengar teriakan dari arah depan kamar.

“Sebentar yaaaahhh,” Salma ikut berteriak. Segera menandaskan susunya, menyambar tas sekolah dan berlari ke arah depan. Menuruni tangga dengan tergesa. Aku mengikutinya dari belakang sampai di ambang pintu, sebelum akhirnya ia kembali menghampiriku. Mencium pipiku.

“Tolong beri satu ciuman lagi di bibir bunda, Salma. Hadiah dari Ayah,” Lelaki itu mengerling, sambil mengaitkan kaca mata hitam ke sela bajunya. Aku tersenyum menerima ciuman bertubi-tubi dari Salma.
***
“Belajarlah, janganlah kita menjadi orang bodoh.
Jelilah dalam melihat sesuatu.
Pikirkan segala sesuatu dengan masak-masak.
Di tengah rumah aku bercerita, semoga tak sia-sia,”

“Dalam kisah yang diceritakan dengan suara sengau mendengung-dengung itu, sang nenek memberikan nasehat jika anak-anak dayak itu harus terus belajar. Karena jika mereka tidak belajar akan jadi orang bodoh. Anak-anak itu, diminta untuk selalu jeli melihat sesuatu, agar tidak mudah tertipu, selalu berpikir dalam bertindak,” Kisah ini dilanjutkan lelakiku yang kini mengikuti alur cerita. Ku lihat Salma semakin girang ditemani dua pendongeng hebat di sebelak kanan-kirinya.

“Yah, suara sengau itu seperti apa?” Demi mendengar pertanyaan ini, lelaki itu menatapku, bingung. Aku tertawa, sebelum akhirnya kami berusaha mempraktekannya, dengan beberapa catatan, tak boleh menggunakannya untuk melecehkan orang lain atau suaranya tidak benar-benar sengau.

“Kisah ini didengarkan oleh seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah betang itu, selepas anak-anak belajar atau mengerjakan PR dan makan malam. Beberapa orang sambil mengayun-ayunkan adik-adik bayi pada sebuah ayunan yang dibuat dengan sederhana di teras rumah betang itu. Beberapa yang lain sambil membuat kain tenun ikat tradisional,” Ia melanjutkan. Merapatkan selimut yang mulai longgar di badan Salma. Satu tangannya menelusup ke tengkukku.

“Jadi, anak-anak Dayak itu rajin sekolah. Meskipun mereka tak punya sepatu untuk sekolah. Meskipun mereka tak punya seragam merah-putih untuk belajar. Keterbatasan itu sama sekali tak menghalangi semangat mereka untuk berangkat ke sekolah,” Ku lihat matanya sedikit membesar, takjub. “Padahal, jarak rumah mereka dengan sekolah lebih dari 10 kilo meter dari sekolah terdekat. Harus lewat sawah yang becek, jalan berbatu dan tak sedikit yang harus menyeberang sungai,” Imbuh sang Ayah.

“Karena hikayat yang diceritakan sang nenek itu, benar-benar mereka camkan dalam benak mereka,” keningnya berkerut mendengar kalimat terakhir dari ayahnya.

“Nggak capek jalan sepanjang itu? Nggak laper? Sepuluh kilo kan ada 10.000 meter? Kalau sekali langkah anak-anak itu sekitar setengah meter, berarti mereka harus berjalan 20.000 langkah setiap harinya. Kalau pulang pergi, jadi 40.000 langkah.” Tanyanya menggebu, penuh ingin tahu. Aku senang dengan permainan matematikanya.

“Ya Capek. Tapi mereka suka bawa bekal nasi dan lauk seadanya. Mereka tak sempat makan di rumah karena khawatir terlambat di sekolah,” Lelakiku itu menjawab dengan gemas. Mencium pipi Salma berkali-kali. Agaknya Salma sedikit terganggu, meskipun ia tidak menolak ciuman itu. Ku kira, rasa terganggu itu karena ia lebih ingin mendengar keterangan komplit dari dongeng yang baru saja diceritakan.

“Terus?” Tanyanya tak sabar.

“Nggak mau dilanjutin, beri Ayah ciuman dulu,” Ayah Salma pura-pura merajuk. Menggoda Salma yang dililit rasa penasaran. Serta merta ia bangkit dari posisi celentang. Meraih leher Ayahnya dan meluncurkan ciuman bertubi-tubi. Aku tertawa sambil membesarkan bola mata. Mengarah ke bola mata suamiku. Sedikit meresa jengkel. Usahaku untuk membuat Salma tertidur bubar berantakan akibat ulah jahilnya. Dia hanya tertawa sambil mencuri-curi mencium pipiku, tanpa malu di depan Salma.

“Terus, Yah?” Tanya Salma enggan kembali ke posisi tidur. Duduk bersila di hadapan kami berdua. Ia meraih tangan Salma. Memberi gerakan reflek yang membuat tubuh Salma kembali tumbang di antara kami.

“Nah, anak-anak cerdas itu, memakan bekalnya, di separoh perjalanan. Di sebuah jembatan kecil. Membuka kantong anyaman pandan tempat penyimpan nasi dan lauk seadanya. Mereka makan bersama. Tak ada yang saling iri, karena nasi dan lauk yang mereka bawa, nyaris sama. Ikan bakar, seperti patin dan baung, hasil pancingan mereka sendiri. Terkadang mereka melahap ayam dan babi yang mereka pelihara sendiri. Mereka lebih sering berlauk sayuran yang juga ditanam sendiri. Bahkan, nasi yang mereka makan pun hasil sawah sendiri,” Jawaban terakhir ini membuat kening Salma berkerut.

“Enak dong Yah, mereka makannya sama ikan bakar, ayam, babi,… Kita makan tempe sama tahu,” Tukasnya, kritis.

“Eh, tapi kan semuanya dipelihara atau didapat dengan keringatnya sendiri. Ayam dan babi pun disembelih kalau ada ritual persembahan sebelum atau setelah panen. Mereka jarang menggunakan uang. Lebih sering malah makan sayuran. Nah, sayur favorit mereka adalah pojak pusung jaung atau tumis bunga kecombrang dan pojak iyur gai kotok atau tumis rotan muda,” Salma manggut-manggut.

“Kecombrang?” Salma mengulangi pernyataan ayahnya.

“Iya, kecombrang kalau di istilah bahasa Indonesia. Sebetulnya berasal dari bahasa jawa. Kalau istilah orang Sunda disebut honje. Nah, di Sumatera Utara disebut Bunga kencong atau kincug, kalau di Bali disebut bongkot. Dalam bahasa Inggris disebut torch ginger. Tapi intinya, tanaman itu mirip jahe, tetapi bunganya lebih bagus, warnanya merah muda. Sementara buahnya mirip nenas sehingga sering dipakai sebagai asam. Kadang, nenek Salma sering memakai buah kecombrang kalau sedang masak sayur asem,” Jelas sang Ayah.

“Nah, kalau dalam ilmu pengetahuan biologi, Bunga Kecombrang ini, termasuk kelas Liliopsida, memiliki ordo Zingiberales, familinya Zingiberaceae, bergenus Nicolaia, dan spesiesnya Nicolaia Speciosa Horan,” Lanjutku.

“Tumis rotan?” Pertanyaan itu telah diucapkannya dengan mata terpejam dan bergumam. Sejurus kemudian, ia telah pergi ke alam mimpi.
***
Aku melihat layar selularku, seusai siaran pagi; Solusi cerdas bagi perempuan cergas! Ada sebuah pesan masuk, saat aku beranjak dari kursi dan keluar dari studio. Tak sengaja membentur tangan kanan Damian, penyiar berikutnya. Penyiar berusia 23 tahun yang membawakan acara jazzy jazz itu membuatku betah di kantor satu jam lebih lama. Selain karena aliran musik yang dibawakan, aku juga menyukai informasi yang disisipkannya dalam setiap siaran, tentang lagu-lagu jazz.

Ah, meskipun aku mengaku penyuka jazz tapi aku tak pernah tahu jika awalnya musik jazz lahir dengan dasar Blues. Kemudian pada sekitar tahun 1987 mulai dikenal bentuk Rag Time, yang pada waktu itu berupa permainan piano di bar-bar. Blues dan Rag Time berkembang menjadi Boogie - Woogie. Bentuk-bentuk tersebut selain merambah pada jalurnya sendiri, juga berkembang menelusuri perjalanan musik jazz. Aku tak pernah tahu tentang itu, sampai mendengar informasi yang disampaikannya. Yang aku tahu, musik jazz hanyalah berasal dari Amerika Serikat sekitar tahun1868.

Yang ku tahu hanyalah beberapa musikus atau penyanyi yang terkenal di dunia jazz, seperti Syahrani yang memiliki kualitas vocal yang ok, Tompi seorang dokter muda dengan improvisasi yang full, Glenn Fredly, Maliq & D’Essentials, Bunglon, January Christy, Dian Pramana Putra, Ermi Kulit, Mus Mujiono, Fariz RM, Gilang Rahamdhan, Indra Lesmada dan ayahnya almarhum. Atau juga beberapa penyanyi jazz barat seperti Norah Jones, Nat King Cole, Al Jareau, Diana Krall, Michael Frank, Boby Caldwell dan juga Manhattan transfer, atau Lee Ritenour. Sementara bagaimana mereka ada, berkenalan dengan musik jazz dan memberi jejak di dunianya, aku tak pernah tahu. Sampai mendengar ceramah ringan dari Damian.

Aku membaca pesan: Tadi Salma minta aku tidak lagi mengantarnya ke sekolah.

Segera ku pencet tombol OK untuk menjawab SMS itu melalui telephon.

“Sayang? Sudah selesai siaran? Atau masih mendengar penyiar pujaanmu itu mengulas tentang jazz?” Sapa suara di seberang. Sepertinya dia sedang berada di rumah. Suara riuh lima ribu ekor ayam menjadi backsound suaranya. Aku mengangguk, lupa jika kami terpisah oleh ruang. Sekaligus tergelak menyadari tambahan kalimat terakhirnya. Sedikit tersanjung. GRku, dia sedang bermain-main dengan jawaban berbahayaku. Untuk menyakiti dirinya sendiri; Jealous. Haha,…

“Tidakkah dia menceritakan tentang mimpinya padamu?” Tanyaku setelah memperbaiki jawabanku atas pertanyaan yang hanya ku jawab dengan anggukan tadi. Ia berkata seperti menggumam. Sedikit tak terdengar karena kokok ribuan ayam itu lebih ribut daripada suara tenornya. Ku raba, ia bertanya tentang isi mimpi Salma.

Ku ceritakan mimpi unik Salma. Tentang rumah betang dan lemparan sepatu mengenai burung garuda. Terdengar suara oh, saat aku mengakhiri ceritanya. Dalam pembicaraan itu, aku baru mendengar informasi jika siang kemarin, saat aku menggantikan siaran siang kawanku, mereka, Salma dan Ayahnya, menyaksikan film documenter: Indonesiaku di Tepi Batas (My Indonesia at The Edge of Border).
***
Berjalan tertatih. Sendiri, menyusuri hutan. Dengan sebatang tongkat sebagai penyangga badan yang telah bergeser tiga puluh derajad ke arah depan. Kulitnya yang telah layu dibiarkan dikibas lambaian angin dari tanaman keras yang masih tersisa. Kulit itu membungkus sekerat daging yang masih menempel pada tulang. Matanya yang tidak lagi awas sesekali menyandung kerikil atau juga akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah. Ia berhenti. Sesekali istirahat melepas lelah dengan menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar. Sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Menerobos perbatasan.

Perbatasan itu hanya ditandai sebuah patok, pada sebuah ceruk yang nyaris tak terlihat. Sungguh aneh, pikirnya. Karena perbatasan ini bukanlah sekedar batas desa atau kecamatan. Tapi ini batas antara dua Negara. Ia hanya menggeleng. Sambil membayangkan bagaimana wajah Negara saat mebahas tentang Ambalat atau Sipadan dan Ligitan diakui Negara lain.

Tapi ia merasa beruntung, karena batas itu tak disertai kawat berduri atau penjaga perbatasan. Kalau tidak, maka ia merasa akan lebih menderita lagi. Betapa tidak, usianya yang telah renta tak menggerakkan hati para dokter atau penjaga kesehatan di puskesmas desanya tergerak untuk sekedar mengobatinya. Sehingga ia terpaksa berjalan lebih dari 8 jam untuk menerobos perbatasan dan memohon pengobatan gratis di sana. Ah, ia hanya berpikir, ingin mati dengan cara yang lebih baik, jika Tuhan memang memanggilnya. Tidak dalam kondisi mengerang saat meregang nyawa.

“Saya harus berjalan sekitar 8 jam untuk berobat ke Negara tetangga. Sebab puskesmas yang ada di desa kami sering tutup karena dokter yang tidak datang,” Mata tua itu tak kehilangan semangat untuk hidup. Setidaknya itu terpancar dari usahanya pergi berobat meski harus menempuh jarak berpuluh kilo meter.

Mata bening itu tak berkedip. Melihat setiap adegan yang terekam dalam film documenter karya seorang sineas spesialis film documenter, Deny Sofyan, sahabatku. Sesekali berkomat-kamit seperti merapal mantra. Atau menghafal kata? Ia hanya bergerak dari posisi tiduran di pangkuanku ke posisi duduk. Meski kepalanya tetap menyandar di dadaku. Sesekali ku hapus keringat yang menetes dari keningnya. Kemarau kali ini terasa lebih panjang. Entahlah, mungkin karena badai elnino yang banyak dibicarakan pakar itu. Atau juga karena manusia telah melupakan jantung mereka hingga terus membalak secara liar.

“Sebagaian besar masyarakat yang tinggal di perbatasan belum sepenuhnya mengetahui bahwa mereka bagian dari wilayah Indonesia. Baru kemarin, di bulan Agustus, saat dikibarkan bendera merah putih, mereka baru sadar jika merekapun Indonesia. Tapi, saya kira kalau sekedar bendera tidak bisa mensejahterakan masyarakat,” Ujar seorang Perangkat Desa di Sintang.

Gadisku itu, tampak sangat meresapi cerita. Matanya semakin berbinar saat melihat gumpalan awan yang bergerak begitu dramatis di langit Borneo bagian barat. Mata itu juga berkaca-kaca saat melihat anak-anak sekolah seusianya bertelanjang kaki dan hanya sebagian kecil yang mengenakan seragam. Mimiknya juga berubah miris manakala melihat sang saka merah putih yang telah pudar warnanya dan tercabik tinggal separoh, berkibar ditiup angin, pada sebatang bamboo yang dipancang di atas pohon.

“Yah, orang-orang diperbatasan masih menyedihkan begitu. Tapi kenapa pak polisi sama om-om di KPK meributkan soal siapa cicak, siapa buaya? Memangnya Cicak sama Buaya musuhan ya, Yah? Padahal, dalam sejarah rantai makanan kan, mereka tidak tergabung dalam satu lingkaran? Buaya bukan predatornya cicak kan Yah? Terus kenapa semua orang jadi pada ribut saling membela atau mencerca Cicak atau Buaya?” Tanyanya dengan mimic inosens beberapa saat setelah ucapan terima kasih muncul di layar laptop. Saat itu, aku kehilangan kata untuk menjelaskan pertanyaan kritisnya
***
Siang yang pekat. Panasnya menyengat hingga menembus pori-pori. Aku memasuki pelataran halaman sekolah Salma dengan penuh tanda tanya. Sebuah surat memanggil kami untuk segera menemui guru Salma. Saat kami masuk ke ruang guru, seorang guru setengah baya menunggu.

“Saya mengundang bapak dan ibu untuk menunjukkan PR menulis puisi yang ditulis Salma,” Suara lembut keibuan itu keluar dari bibir tipis sang guru. Mengawali pembicaraan serius, setelah beberapa saat berbasa-basi. Keningku berkerut. PR? Aku menoleh. Suamiku juga sama tidak mengertinya.



Selembar Bendera untuk Garuda

Karya: Salma Andalucia

Bunda, apakah kita sudah cukup merasa Indonesia
Hanya dengan selembar bendera?
Sementara kawan-kawanku di perbatasan bertelanjang dada
Hanya untuk belajar Bahasa.

Ayah, apakah kita sudah cukup merasa Indonesia
Hanya dengan seekor burung Garuda?
Sementara seorang bapak tua hampir melata
Hanya untuk merasa sehat sentosa.

Tapi, pak polisi dan om KPK itu,
Masih Ribut urusan Cicak dan Buaya
Yang sebetulnya tak pernah bertemu
Dalam satu lingkaran rantai makanan

Ah, aku tak mengerti dengan pikiran orang dewasa,
Yang mengaku cinta Negara tapi tak pernah berpikir tentang manusia.

Aku tertegun. Membaca larik-larik sajak yang ditulis jagoan kecilku itu. Tak bisa ku gambarkan perasaanku kini. Antara bangga, miris, sekaligus merasa tertampar. Ku lirik, Ayah Salma pun terpekur. Sebelum berkomentar pada sang guru.

“Saya kira, anda adalah seorang guru. Dan anda lebih tahu apa yang harus dilakukan,” Ujar ayah Salma yang diikuti dengan longo sang guru bahasa Indonesia. Dalam hati, aku bersorak.
_***_