Minggu, 25 Oktober 2009

Tunggu Aku,...

Saatnya kembali berlayar,
Menjemput cinta yang kau tambat di ujung tenda.
Tenda yang terpancang tegar
Di kaki Gunung, dekat telaga.

Tunggu aku,
yang masih ingin bermain bersama paus dan kuda laut,
yang masih ingin berenang di antara terumbu, dunia laut,
masih ingin melihat raut senja dijemput kabut.

Sehari lalu aku merasa tak kan merindu padamu.
Sebab samudera ini berisi penuh dengan tetesan cintamu.
Bergelombang harapan, berombak kesetiaan
Menghempas angkuhnya karang rasio,

Di atasnya, camar laut menari ikuti angin yang mengusung bayangmu.
Diiringi mega-mega yang melukis senyummu.
Matahari bahkan mengirimkan mimpi hangatmu
Gerimis pun menitikkan damai matamu.

Aku begitu menikmatinya,
Sampai senja terlelap di ujung malam.
Sampai bintang mengisyaratkanku pulang.
Sampai sepi membuatku cekam.

Tunggu, tunggu aku.
Aku tahu, sudah saatnya berlabuh.
Sampai waktunya membuang sauh.
Kembali ke tanah bersama peluh.

Jibril & Malik

Tiba-tiba aku ingin menangis,
Menangis tersedu.
Tanpa ku tahu apa yang membuatku ingin,
Tapi kesedihan mencabik2 tawa yang ku mulai sejak pagi tadi.

Tuhanku, aku hanya ingin mati,
setelah semua ku anggap selesai.
Tapi, belum lagi ku luruhkan inginku,
Kau malah mempertemukan ku dengan
(entah) Malaikat Jibril yang ingin memberiku Wahyu
(ataukah) Malaikat Malik yang tak sabar menyiksaku.

Jibril entah Malik itu,
Memberikan tanah yang begitu gembur
Laut yang begitu kaya, langit yang begitu biru
Tapi, bau darah tak mau hilang dari indra cium ku
Tapi Kelaparan tak mau lekang dari indra rasa ku
Bahkan penindasan mencabik persis depan indra lihat ku.

Jibril entah Malik itu,
juga menjanjikan hidup padaku
berjuta senyum, berlimpah tawa
dengan ilmu seluas samudra
pada sebuah rumah dengan banyak pintu dan jendela
tapi pintu dan jendela itu tertutup, terkunci rapat
hingga aku nyaris kehabisan oksigen di dalamnya
hingga aku tersesat di dalamnya,
dan tak menemukan ventilasi untuk sekedar bernafas.

Tuhan, kalau Kau menghukum ku hidup
karena aku ingin mati,
maka berikanlah 1000 alasan,
mengapa aku harus hidup.
agar aku tak lagi berpikir untuk mati.

Menunggu Isyarat

Dialah bintang berkelebat,
yang hadir sehari sebelum Bapak Bani Izrail dibakar raja Namrud.
yang bersinar terang terpendar
setelah itu hilang di balik kelam malam.

Dialah bintang berekor,
yang membuat lelaki Shalih bernama Noah gelisah
sebelum membuat bahtera untuk menyelamatkan makhluk beriman
dalam banjir bandang di tengah ladang kerontang

Dialah bintang jatuh,
yang tersungkur sebelum Musa membelah laut merah
dan menenggelamkan 'tangan besi' Fir'aun

Dia, selalu datang sebagai pertanda.
Penanda kehidupan harus berubah.
perubahan yang datang setelah penderitaan yang panjang

Aku menunggunya,
di sela gelisah tanpa jeda saat malam semakin pekat
Menjemput fajar, menyingsing pagi bersama matahari.

Aku menunggunya,
diantara kemarau disertai bara dan pekat asap yang membutakan pandang kami,
diantara semburan air beracun yang menggusur rumah kami,
diantara tangis kemarau yang merusak tanaman kami,
diantara geliatan bumi yang meluluh lantakkan kehidupan kami.

Tapi dia belum datang.

Tuhan, Namrud di sini, Fir'aun kembali,
sambil tersenyum, sedang melanggengkan kekuasaan tanpa ingat jujur
sambil tertawa, sedang membuatkan kuburan bagi jelata di kubangan lumpur
berpura-pura menahan lapar tanpa peduli kelaparan terus menggempur

Aku hanya menginginkan pertanda itu datang,
lewat revolusi dan demokrasi.

Saat Senja Sesaat

Senja selalu tampak indah di lihat dari tepi pantai, sayangku.
Beragam warna terpendar seiring berjuta rasa yang melingkupinya.
Eksotisitas yang ditampilkan satu pantai berbeda nuansa dengan pantai yang lain.
Tapi tahukah kau, apa yang membuatnya begitu beragam, indah dan tak terlupakan?
Dialah Samudera (Laut) yang memantulkannya.

Lalu jawablah, mana yang menurutmu lebih penting,
Matahari sebagai Cahaya, atau Samudera sebagai pemantulnya?

Tentu saja Matahari yang merupakan sumber cahaya, kekasihku.
Tapi, berhati-hatilah,
Karena kau akan terbakar terlumat habis karena energi yang ditimbulkannya.
Ia terlalu pongah untuk kau rengkuh, kau miliki sendiri.
Karena ia sumber kehidupan.

Tapi tidak dengan samudera, belahan jiwaku.
Karena ia hanya memantulkan cahaya.
Kau akan tetap merasa hangat tanpa harus terbakar.
Kau akan menemukan palung-palung hati
yang kan membuatmu tenang saat waktunya terpejam.
Dan telah ku sediakan taman bermain di dalamnya,
Berteman gemintang laut, ikan-ikan dan terumbu.

Jika matahari adalah mimpi yang kau rindukan.
Maka Samudera adalah realita yang tak membuatmu kehilangan apapun.


*Dalam hati aku berkata: Tidak Cintaku,
Matahari tidak lebih penting dari Samudera, tidak juga sebaliknya.
Sebab keduanya berkolaborasi
membentuk momentum senja yang indah, yang berbeda.
Ya, senja itu hanya saat, momentum.
Tidak nyata, hanya ada,...

MenghadapMu bersama Peluru

Tuhan, aku datang menghadapMu.
Dengan seperangkat bom memeluk erat tubuhku,
yang tak sempat berontak luluhkan ragaku.
Serdadu-serdadu itu mengantarkan satu peluru.

Tenanglah, semua tak akan meledak di hadapMu hanya, jika Kau mengatakan Kun.
(Ah, aku terbiasa ditakuti meski mereka tak menyimakku dengan khusyu)

Tuhan, aku datang mengetuk pintuMu,
Dengan semangat heroisme yang tertulis dalam ayat-ayat suci.
Menegakkan tiang-tiang penegak hidup yang hampir roboh ditiup Kapitalisme.
(Ah, aku terbiasa dibenci meski bukan Nabi)

Tuhan, aku tak menyesal Kau sampaikan aku di dunia ambang, sore tadi.
Meski ku rasa masih ada yang belum selesai,
Belum pula sempat ku ucap maaf bagi syahid yang turut terenggut maut
bersama tentara-tentara pemimpi syurga privat.

Aku belum juga menggunakan hak jawabku
Pada kuli-kuli pemburu berita itu
Yang telah berselingkuh dengan artis-artis publikasi
pahlawan-pahlawan gadungan yang mengatasnamakan demokrasi.

Aku belum juga membuat konfrensi tandingan
Betapa syurga begitu indah jika dirasakan bersama,
tidak hanya mereka atau kita, tapi semua, semua.

Betapa mereka telah dibutakan senyum peradaban
Yang tercipta justru untuk menggusur kemanusiaan.

Ah, biarlah hak jawab itu ku sampaikan di hari perhitungan nanti.
Biarlah pledoi itu ku bacakan di pengadilanMu nanti.
Biarlah permohonan ampun ku haturkan di hadapanMu nanti.
Sekarang biarkanku terlelap, meski tergusur di tanah lahirku sendiri.

Pergilah, Bersemayamlah dalam hangat.

Yang dicinta kan pergi,
Yang didamba kan hilang.
Ini hanya masalah waktu, saat nyawa meregang,
Tak ada yang abadi.

Ini memang bukan masalah waktu,
Entah esok, lusa atau sekarang.
Tapi bagaimana cara tuk pergi, tuk menghilang.
Didebur ombak, dihantam gedung, atau juga dilumat gunung.

Meski semua cara selalu menghadirkan tangis,
Tapi seharusnya ada cara yang lebih baik,
agar pilu dapat terkikis.

Ini memang bukan urusan waktu,
Tapi bagaimana cara mengantisipasi,
agar pergi dengan manis, meski tetap tangis.

Ini bukan soal menolak takdir.
Tapi bagaimana cara menjaga bumi,
agar pergi dengan haru, meski tetap kelu.

Pergilah dengan damai, kawan.
Istirahatlah dengan tenang.
Biar kami yang bertanya kepada negara
yang menguasai bumi, air dan kekayaan di dalamnya
yang telah mengurusnya dengan baik sehingga murka melumat kalian.

Tidurlah dengan nyenyak, sahabat.
Bersemayamlah dalam hangat.
Biar kami yang menuntut kepada negara
yang telah berjanji menjaga anak-anak telantar yang kau tinggal
telah memberi tempat terbaik sehingga bertebar di jalan raya dan ketidakpastian.

Pengakuan,..

Kepada Maha Cinta dan Cipta, yang menjadikanku penanda kehidupan,
yang menjadi sasaran kemarahan saat semua tak sesuai inginku,
Sujud ku memohon ikhlas Mu memaafkanku.

Kepada Bunda tempat mengadu samsara,
yang menjadi sasaran kekesalan saat kesabaran tak sedang menyentuh ku,
Ciumku di kaki mu memohon ikhlasmu memaafkanku.

Kepada Matahari inspirasi cita-cita,
yang menjadi tumpuan kesalahan saat asa tak lagi merengkuh ku,
Tunduk kepala ku memohon ikhlasmu memaafkanku.

Kepada kekasih tempat berbagi cerita dan derita,
yang menjadi tumpahan keraguan saat percaya tak lagi yakinkan ku,
Luruh ku di pundak mu memohon ikhlas memaafkan ku.

Kepada jelata yang belum sempat ku seka tangisnya,
yang menjadi pijakan prasangka saat dunia terasa sendu bagi ku,

Kepada karib-kerabat serta sahabat yang belum sempat ku dengar keluhnya,
yang menjadi tumpahan emosi saat beban terasa di pundak ku
Maaf ku, maaf ku, maaf ku,
memohon ikhlasmu, memaafkak ku...
Di ujung ramadhan pembuka fitrah...

[Berbagi Mimpi]

Aku membuka mata. Saat sentuhan hangat terasa di bibirku. Ku lihat mata sipit itu sedang memandangku. Memberikan seulas senyum. Senyum yang renyah. Mengembang menjadi tawa, tanpa suara. Tawa yang juga renyah itu menyirat kalimat selamat pagi. Aku juga tersenyum. Merapatkan tangannya yang masih melingkar di pinggangku. Mendekapnya dengan erat. Dan berbisik, selamat pagi,…

Pagi ini berbeda dengan pagi kemarin. Di tempat tidur ini, aku tak lagi sendiri. Ada dia yang telah mengucap sumpah di hadapan Tuhan. Untuk bersama, berharap selamanya.

Di luar, kabut tipis sisa hujan semalam masih menempel pada jendela kamar kami. Aku beranjak setelah kami menekuri satu kegiatan yang akan menjadi ritual kami, pada pagi-pagi berikutnya. Menyingkap gorden. Membuka jendela. Menghirup oksigen beberapa jenak. Menyapa anggrek yang tertengger di pohon mangga, digoda seekor burung. Menyapa rumput hijau yang tampak segar, basah.

Aku berbalik ketika ku lihat dia keluar dari kamar mandi. Mengganti posisinya. Bersuci. Untuk mengucapkan syukur di awal pagi yang istimewa ini. Syukur yang tak lagi ku sampaikan sendiri. Setetes embun diam-diam meleleh dari ujung mata, sesaat setelah mengucap amiiin,…

Senyap yang terjadi beberapa menit sebelumnya mulai bertransformasi. Seiring berdentumnya suara Koil menyanyikan lagu perang! Aku tertawa sambil menggeleng. Inilah perbedaan kedua setelah aku bersamanya. Memang tak selalu lagu rock. Kadang malah slow, mellow. Yang tak pernah ku dengar dia memutar lagu dangdut. Kalau otak nakalku berpikir, mungkin dia masih gengsi, haha… Akan selalu ada music menemani kami mengawali pagi. Dimulai ketika matahari masih malu-malu menyembul di diantara pohon kelapa, di kejauhan sana.

Mendengar teriakan Koil itu, asyik juga. Menyapuku seperti ada nada dasar yang harus diikuti. Tertata rapi dalam tujuh not tangga nada. Ah, tidak. Diantara tujuh not yang ada dalam alat musik, ku kira Koil tak menggunakan not Re dan Fa. Sementara Do dan Re digunakan pada not-not tinggi. Kepalaku mengangguk ke kanan ketika sapu itu ku arahkan ke belakang. Mengangguk ke kiri ketika sapu itu mengarah ke depan. Seorang tetangga terlihat tersenyum-senyum menahan tawa saat melintas di depan pintu yang baru saja ku buka. Mungkin ia melihat ku berjingkat-jingkat tak karuan.

Aku melempar senyum. Mengangguk. Iapun tersenyum. Juga mengangguk. Hari ini, hanya bahasa tubuh itu yang bisa ku berikan. Aku khawatir menyinggung tetangga yang belum ku kenal itu jika aku menyapa dengan bahasa Indonesia. Ah, seharusnya tidak seperti itu. Seharusnya tetap ku sapa dengan bahasa. Tapi, aku terbawa steriotipe di kampungku. Tak baik menyapa orang yang lebih tua dengan bahasa Indonesia. Dikira menghina. Sebab mereka tak berbahasa Indonesia. Meski aku tahu, aturan itu hanya mengada-ada. Entahlah, besok aku akan memperbaikinya.

“Sayaaaaaangggg, telurnya di mana?” Teriakan itu keluar dari arah dapur. Aku tergopoh begitu ku selesaikan sapuku. Pagi-pagi berikutnya, aku tahu teriakan itu untuk mengajakku masak bersama. Ia lebih sering menjadi koki utama menyediakan sarapan pagi. Tak jarang juga aku. Meski tak banyak resep yang aku tahu, dan harus mengganggu umi yang sedang bersiap untuk mengajar di TK.

“Catatlah resepnya, biar nggak telpon terus,” Keluh umi, berpagi-pagi berikutnya. Sambil tertawa ku katakan, “Tak, lah. Kan umi masih sehat. Dan akan selalu sehat,” Aku tahu perempuan itu sedang menyimpul senyum.

“Tuh, susunya. Diminum dulu,” Sapanya ketika melihatku masuk. Tanpa melepas perhatiannya pada bumbu-bumbu yang sedang ditekuninya. Aku melihat dua gelas susu sudah tersedia di meja. Mengambil keduanya. Menyorongkan salah satunya. Ia menggeleng. Aku mengerutkan kening, sambil tak melepas senyumku. Ia tak menyerah, hanya memonyongkan bibir. Aku tertawa. Berusaha membantunya meminum susu hangat itu tanpa tumpah.

“Masak apa hari ini?” Tanyaku penasaran.

“Ada deh,” godanya. Aku berusaha tenang, berpura-pura tak tertarik pada jawabannya. Membuka panci yang telah dibakar api.

“Bisa bikin bubur ayam?” Tanyaku penasaran.

“Kalau nanti ketagihan, mau diapain?” Godanya lagi, sambil tertawa renyah. Ah, tawa itu yang pertama kali ku lihat saat perjumpaan pertama kami di Djogja dulu.

“Mau diapain coba?” Tantangku sambil mencubit pinggangnya. Membantunya menyiapkan beberapa peralatan makan.

Dapur ini terletak di luar rumah. Di belakang tepatnya. Beratap jerami. Bentuknya semacam gazebo. Terbuat dari bambu. Bangunan ini sengaja dibuatnya untuk memberikan pandangan yang luas pada halaman belakang rumah kami. Halaman yang dipenuhi dengan berbagai tanaman. Beberapa jenis sayur, tomat, cabai, beberapa pohon keras. Semuanya, adalah hasil dari tangan dinginnya. Jauh terlihat setelah pepohonan itu, tampak sawah terhampar luas.
Di dapur ini, tempat kreatifitasnya dimulai. Dimulai dari sebuah masakan. Masakan yang aku tahu akan menjadi favorit pengisi perut ku bertahun-tahun kemudian. Berawal dari kecintaannya pada tanaman. Yang membuat hidupku semakin teduh dan damai. Kalau syurga itu seindah batas pikiran masing-masing manusia, maka ku kira, ia sedang membangun syurganya di rumah ini. Yang paling menyenangkan, ia mengajakku untuk membuat syurga itu. Bersamanya,...
“Lho, piringnya kok cuma satu?” Ia mengerutkan dahi saat melihat hanya ada satu tempat untuk menampung bubur ayam yang dibuatnya.
“Kan makannya bubur,” Jawabku. Bahu dan alisnya mengangkat.
“Disuapin, dong,” Jawabku cuek, berusaha tak melihat matanya. Malu.
“Idih, manja,” Aku tertawa.
“Salah siapa masak bubur? Jadinya ya harus disuapin,” Kataku bersorak. Ia mengusap kepalaku sebelum melekatkan bibirnya di pipiku. Kecupan ini mengantakanku pada khayalan saat telephon-telephon panjang ritual kami, dulu. Saat ia berkeliling Indonesia. Ku rasa wajahku mulai berubah warna.
Pagi ini dan pagi-pagi selanjutnya akan menjadi awal yang menyenangkan untuk memulai hariku. Hari kami. Banyak tawa yang diciptakannya. Banyak senyum yang diulasnya. Banyak harapan dan semangat yang yang akan kujadikan bekal pada siang hingga menjelang sore, saat kami bertemu kembali.
Di siang hari, kami lebih banyak menjalani aktifitas kami masing-masing. Aku dengan kegiatan reportase atau kegiatan kampus yang mulai ku tekuri kembali. Dunia yang ku impikan, di mana aku merasa lebih hidup karenanya. Meski pada perkembangan selanjutnya, aku sadar juga menemukan hidup saat menjadi seseorang di sampingnya. Sementara dia, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menulis atau bercumbu dengan alam.
Ini akan berbeda saat pagi di hari sabtu dan minggu. Kami akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Menemaninya menulis atau pergi ke kebun. Atau juga pergi ke rumah orang tuanya yang kurasa, ini GRku, juga menyayangiku. Haha,.. atau juga lebih banyak sekedar jalan-jalan menyusuri sudut-sudut toko buku dan sejumlah komunitas.
Semua kegiatan itu, memberiku suasana berbeda. Menemaninya ke kebun misalnya, membuat aku semakin meng-hikmad-i kecintaannya pada bumi dan kehidupan yang sedang berjalan di atasnya. Menemaninya menulis, membuatku semakin menekuri kedalam hatinya, kejujuran rasanya bahkan keliaran otaknya menjelajahi dunia yang tertuang dalam kata dan frasa. Banyak ide yang orisinil keluar dari kepalanya. Meletup-letup, membuncah, memuncak, dan hingga meleleh pada kalimat-kalimat yang tercipta dari kelincahan sepuluh jarinya. Sementara pergi ke rumah mamah, banyak rahasia yang ku dapat tentang,… RAHASIA! Hahahahah….
Di suatu sore, entah kapan, aku melihatnya menunggu ku di depan pagar beluntas, rumah kami. Berkaos oblong tanpa lengan, bercelana pendek, bersendal jepit, tapi berkaca mata hitam. Rambutnya yang hitam ikal hampir menyentuh bahu, basah. Beberapa anaknya menutupi dahi, disapu angin.
Kalau Angelina Jolie mengatakan hanya Brad pitt yang bisa membuatya terjatuh dalam kubangan cinta, maka sore ini, jantungku berdesir. Seperti gadis SMP yang sedang melihat kakak kelas idolanya bermain basket di halaman sekolah atau memetik gitar dalam acara gelar seni. Apalagi, saat ia dengan sengaja membuka kaca matanya saat melihatku mendekat. Rasa yang begitu orisinil. Rasa yang terus ada seperti saat aku menyadari pertama kali telah jatuh cinta pada sebuah percakapan di telephon. Yang sebelumnya tak pernah ku percaya itu ada dan bisa.
Ia sudah berada di atas vespa. Memintaku segera naik. Aku yang baru saja datang tergopoh menaikkan sepeda ke dalam sebelum melompat ke boncengannya.
“Kumaha?” Tanyaku sambil menyusuri jalan berbatu depan rumah kami.
“Damang,” Jawabnya pendek.
“Maksudku, mau kemana?” Sambarku sambil nyengir. Ia tertawa mendengar pengakuan sok tahuku.
“Pacaran,” Jawabnya cuek. Sekali lagi, desir itu berhembus lembut di tampuk hati yang ikut bergoyang-goyang. Menembus sore di kota pertama propinsi ini. Atau pada sore berikutnya, berjalan di setapak pematang tanpa alas kaki. Atau pada sore lainnya, berlari kecil justru menjauh dari rumah, diantara derasnya rinai hujan.
“India banget,” Pernah suatu ketika ia menggerutu saat aku mengajaknya mandi air hujan. Tapi, ia tetap menikmatinya sambil menyiramku dengan Lumpur. Berlari menghindar saat aku hendak membalasnya.
Malam harinya, kami bersin bersama. Mengutuki sikap kekanak-kanakan sore tadi hingga menyebabkan kami flu. Tapi akan terulang pada musim hujan berikutinya. Haha…
Begitulah, hingga kembali bertemu di atas tempat tidur. Saling memandang, saling memeluk. Saling mengucap cinta dengan mata, dengan hati, dengan jiwa. Saling mengecup dengan rasa dengan hangat. Dan terlelap dalam peluk, dalam cinta. Hingga pagi menyapa atau justru ke surga,…

Saat Mimpi Bertutur

Hi, namaku Reuben. Reuben, pakai ‘E’ setelah ‘R’. Meski dalam pelafalannya biasa terdengar ‘Ruben’ agar kau tak dianggap ‘katrok’ bahasa, tapi dalam penulisannya, harus tetap ditambahkan ‘E’ setelah ‘R’. Ini penting ku jelaskan, karena bunda memanggilku hanya dengan Re. Re yang menurut bunda adalah nama seorang dewa matahari. Re yang menurut kepercayaan Mesir kuno adalah Sumber kehidupan, sumber inspirasi. Dipuja dan diagungkan. Karenanya, orang-orang zaman mesir kuno dahulu bersembahyang menghadap timur saat fajar menyingsing. Sementara ayah dan semua orang memanggilku ‘Ruben’ atau ‘Ben’. Mengapa namaku berkolaborasi antara Dewa Matahari dengan Presenter kocak yang sekarang lagi naik daun itu? Entahlah, ku kira hanya bunda yang mempunyai alasannya.

Hei, Jangan bayangkan aku seperti Ruben Onsu, presenter kocak cenderung gila itu! Aku jauh lebih kocak dan lebih seru, dengan caraku. Jangan berkhayal wajahku seperti Ruben Elishama si bintang film ganteng dan berbakat tapi sedikit tidak laku itu. Aku jauh lebih tampan dan lebih cool. Tentu saja dengan caraku sendiri.

Aku adalah warga dunia. Yang lahir dari kolaborasi pemikiran dua orang hebat. Ayah dan bundaku. Meskipun keduanya lahir dari dua suku berbeda di pulau jawa, tetapi aku tak pernah diajarkan tentang budaya-budaya yang cenderung membuat kemunduran pada perkembangan dan peradaban manusia. Bahasa yang diajarkan keduanya adalah bahasa perdamaian. Persaudaraan yang ditanamkannya adalah kemanusiaan. Tanpa melihat etnis, suku bangsa atau bahkan agama. Dan, cinta yang diwariskannya adalah cinta ilmu.

Ayah dan bunda. Orang yang selalu cinta pada kemanusiaan. Orang yang selalu marah pada ketidakadilan, ketimpangan social, dan selalu bersuara tentang kesetaraan. Hak asasi manusia. Terutama bunda yang selalu berteriak kencang ketika ada pelecehan terhadap perempuan. Dengan caranya, mereka akan memperjuangkan, mengkampanyekan dan menyadarkan orang tentang pentingnya kehidupan, bukan sekedar hidup. Kata mereka, kehidupan adalah film favorit panjang yang tak pernah usai.

Akan ku ceritakan sedikit tentang ayah dan bundaku, agar kau mempunyai gambaran yang jelas tentang aku. Sekarang, ayahku adalah ketua Komnas HAM. Posisinya terancam karena ia sering menabrak keinginan Presiden, penguasa Negeri ini. Ku dengar pertengkarannya di ruang rapat, siang tadi. Seluruh anggota Komnas HAM tidak mau mengungkapkan temuan mereka terkait kematian aktifis HAM, Munir. Kasus lama yang tak pernah selesai. Yang tak pernah terungkap fakta sebenarnya. Hanya karena presiden tidak berkenan. Tepatnya, seluruh system yang mempengaruhi presiden yang juga tak menginginkan fakta itu terungkap. Karena akan mencoreng-moreng banyak lembaga, termasuk Badan Intelejen Negara yang tak pernah tersentuh.

Ah, ia tak peduli dengan posisinya. Aku tahu itu, karena aku sangat mengenalnya. Ia tak peduli besok akan dipecat. Ia bahkan tak peduli tentang ancaman yang belakangan mulai sampai ke HP bunda. Ia terlampau percaya diri, tak mempunyai cacat politik atau hukum sedikitpun. Ku rasa, nasibnya akan serupa dengan orang yang sekarang sedang dibelanya. Ayah bilang, kemanusiaan ada bukan untuk dibiarkan tapi untuk dihormati. Jadi, bila kemanusiaan diabaikan, harus diperjuangkan.

Bundaku. Bundaku adalah seorang jurnalis media internasional. Sama seperti ayah, sebelum menjadi kandidat dan menjabat sebagai Ketua Komnas HAM. Dia adalah perempuan workaholic yang tak pernah mengenal kata lelah. Perempuan terseksi yang pernah ku kenal. Ah, jangan bayangkan bunda seperti Angelina Jolie. Dia jauh lebih berantakan dari Meg Ryan! Tapi, tingkat keseksian perempuan berkaca mata itu karena kecintaannya pada buku. Buku yang selalu disebutnya sebagai kunci kotak Pandora masa lampau, dunia global, dan masa depan. Katanya, dunia dan seisinya adalah buku yang tak pernah usai dibaca.

Bunda tak pernah alpa membacakan kami sebuah dongeng sesaat sebelum kami terlelap. Banyak dongeng. Mulai dari dongeng rekaan, sampai sejarah-sejarah tokoh-tokoh besar dunia, yang diceritakannya dengan apik dan menarik. Karena dongeng-dongeng itu, aku jadi sering bermimpi bertemu Karl Marx, beradu argument dengan Adam smith, mengikuti perjamuan Plato, atau terlibat dalam perang Gerilya. Tak jarang aku juga sering bermimpi menjadi Peterpan, menjadi Jin sahabat Aladin, atau menjadi Anoman dalam seri pewayangan! Haha…

Saat bercerita, bunda selalu menyertakan sebuah buku dan gambar-gambar apik yang menjadi ilustrasi. Dari semua cerita yang tak pernah habis itu, Dongeng favorit yang sering diceritakannya tentang Tomtitot. Pahlawan berusia 5 tahun, pembela kebenaran. Berambut cepak, berpipi tembam, berbadan ginuk-ginuk, bertopeng zorro. Suka bermain, suka tertawa, suka bermimpi, suka membaca, suka mengaji. Dengan sebuah kalimat sandi, “Nimi-Nimincrot, Namaku Tomtitot!”. Ku kira tokoh ini adalah zorro edisi kecil.

Sambil mengusap kepala kami, bunda bercerita jika Tomtitot ada untuk menghibur gadis kecil yang menangis kehilangan es krimnya yang jatuh, leleh. Tugasnya menghibur nenek tua yang rindu pada cucunya. Tugasnya bermain bersama anak-anak seusianya di taman baca, dekat taman kota, yang sedang ditinggal bekerja oleh ibu mereka. Dengan permainan-permainan seru atau juga dongeng yang asyik. Entah terinspirasi dari mana, karena tak ada satupun buku yang pernah dibacakan untuk kami bercerita tentangnya. Bunda bilang, cerita itu juga diceritakan nenek waktu ia masih kecil. Entahlah, kadang aku merasa, pahlawan cilik rekaan itu lebih mirip kami.

Ah, ya, kami. Bukan hanya aku. Aku terlahir tidak sendiri. Saat mimpi itu terajut, aku lahir bersama dengan kembaranku bernama Dimitry. Jangan bayangkan kami adalah dua kembar bagai pinang di belah dua. Kami hanya akan tampak mirip kalau sedang tidur, itupun jika sedang memakai penutup kepala. Sebab, jika rambutku gondrong berseni kelas tinggi, maka rambut Dimitry tak lebih dari 1 centi. Berpakaian senada dan tertata rapi. Selebihnya, kami adalah twins yang saling melengkapi. Dan kami adalah kolaborasi warisan kedua orang hebat itu.

Eits, jangan bayangkan bahwa kami adalah pemuda berusia 17 hingga 25 tahun! Tidak, kami masih sangat kecil dari itu. Entahlah berapa usia kami. Tapi yang jelas, ayahku masih kuat menggendong kami berdua, sekaligus!

Meskipun rambutku gondrong yang seharusnya lebih banyak dielu-elukan, tetapi, Dimitrylah yang banyak didekati gadis-gadis cilik seusia kami. Sebab ia tercipta menjadi laki-laki yang ramah, pandai bicara dan menarik perhatian. Ku kira ilmu ini didapat dari ayah. Sebab dalam sejarah hidup ayah, yang ku tahu, ia selalu berdekatan dan dikelilingi perempuan-perempuan cantik. Bukan karena wajahnya yang menurutku pas-pasan. Tapi, lebih karena tutur kata yang mencuri perhatian telinga setiap pendengarnya. Meskipun, jika ia bercerita, ku kira tak terlalu menarik, karena disertai dengan data yang terlalu rinci.

Aku sedikit pendiam (Dimi tak pernah setuju gambaran ini) dan cenderung cuek, seperti bunda. Aku lebih banyak menderita karena sering dicubit pipiku yang cubby oleh tante-tante atau budhe-budhe teman ayah dan bunda. Mereka bilang aku menggemaskan karena sangat aktif, hyper aktif, tepatnya. Selalu saja ada yang ku lakukan sehingga membuat mereka tertawa-tawa. Hobbyku memakai topeng zorro, tetapi celana pendekku bernuansa etnik batik yang dibelikan bunda di Djogja. Penampilan eksentris ini membuat mereka selalu ingin menggendongku. Padahal, aku sudah cukup umur untuk berjalan. Beberapa orang terkadang berpura-pura cadel untuk mengambil hatiku. Padahal, perkembanganku sudah cukup baik untuk berbicara dengan jelas. Meski, aku harus terus menambah perbendaharaan vocabulary.

Satu-satunya yang menghubungkan antara aku dan Dimitry adalah pertemanan kami dengan sejumlah anak-anak laki-laki di kompleks rumah kami. Bersama mereka, kami selalu memimpin kreatifitas yang selalu menjadi inspirasi permainan dari hari ke hari. Permainan congklak yang banyak ditinggalkan oleh anak-anak metropolis kembali kami mainkan. Kasti, petak umpet, gambaran, gobak sodor, layang-layang,… Permainan yang banyak ditinggalkan karena games-games PS atau games-games komputer. Permainan-permainan itu terinspirasi dari cerita-cerita bunda yang sesekali kami praktekkan. Ia bahkan memberi kami dispensasi untuk terlambat tidur, jika kami ingin mempraktekkan cerita yang baru saja kami dengar darinya. Haha, bundaku yang cantik itu memang orang yang atraktif!

Tak satupun anak-anak perempuan di kompleks kami yang bergabung, kecuali Flo. Flo yang tomboy, anak perempuan kesepian yang sering ditinggal orang tuanya bekerja. Kehidupannya hanya bersama dua orang baby sitter yang lebih sering bergosip sendiri daripada menjalankan tugasnya. Kalau Dimitry dan aku sengaja lewat depan rumahnya untuk pergi ke lapangan kompleks kami, maka dengan mengendap-endap dia akan keluar rumah dengan meloncat jendela dan memanjat pagar rumah.

Flo akan menelphon ke rumah jika kami tiba-tiba ikut ayah ke luar kota atau bahkan ke luar negeri. Dengan suaranya yang cempreng, ia akan memekakkan telinga bunda, dan berpesan ini dan itu, kalau kami sudah pulang nanti. Ia akan meminta nomor telephone ayah. Menelphon saat ayah sedang melakukan reseach atau wawancara dengan seorang narasumber. Ayah akan mengerutkan dahi, mendengar suara di seberang. Sedikit menjauhkan HP dari telinganya, menggeleng-geleng sambil menyerahkan selularnya pada Dimitry. Flo akan mengatakan hal yang sama persis dengan yang dikatakan pada bunda.

Ya, kami sering berpetualang bersama ayah. Ke seluruh pelosok Indonesia raya. Ke sudut-sudut dunia. Mengikuti konfrensi ini dan itu. Mengikuti sekolah pendek, atau research untuk tulisannya. Ke tempat-tempat terjadinya gunung meletus, banjir bandang, sampai tsunami. Ke suku-suku terpencil, Suku Dayak, Sasak, Mentawai, Badui, Samin,… Uph, tak terhitung lagi kegiatan yang kami lakukannya.

Tugas kami di tempat-tempat itu adalah berkreatifitas. Bermain dengan segala hal yang yang ada. Berteman dengan teman-teman ayah, berteman dengan beberapa anak yang berada di sekitar lingkungan baru kami, dan menghibur seluruh anak-anak yang kehilangan rumah atau orang tua mereka. Jika tugasku adalah beraksi agar anak-anak itu tak lagi bersedih saat pengungsian, maka tugas Dimi adalah memotret. Dengan kamera butut yang dihadiahkan ayah untuk kami, dia selalu mengambil pose-poseku bersama anak-anak kecil itu, layaknya seorang photographer terkenal! Mengikuti beberapa gaya cara mengambil angle ayah atau teman-teman photographer ayah. (Itu, kami lakukan sebelum ayah menjadi ketua Komnas HAM).

Meskipun ikut bunda juga menyenangkan, tetapi, jalan-jalan bersama ayah adalah hal yang lebih menegangkan! Karena, kegiatan ayah lebih berupa-rupa daripada bunda. Sementara bunda, menjadi kontributor untuk daerah tertentu, sehingga tak bisa berkeliling-keliling sesuka hati, seperti ayah. Kecuali, dia sedang ada undangan menjadi pembicara ini dan itu, atau pelatihan ini dan itu, atau semacam itulah. Dan semua acara itu dilakukan di hotel atau kampus, huh! Membosankan.

Perjalanan kami ke pelosok penjuru dunia, membuat kami pintar belajar setiap bahasa yang ada di dunia. Meskipun semua hanya sebatas percakapan. Kalau Cuma bahasa Indonesia dan English, kami menggunakannya bersama ayah dan bunda setiap waktu. Bahasa Perancis, Jerman, Tagalong, juga sejumlah bahasa di Indonesia seperti bahasa Aceh, Nias, Sulawesi, Ambon, Kalimantan, Jawa dan Madura. Hobbyku berceloteh dan bertanya ini dan itu, membuat semuanya pelajaran lebih mudah (tapi lebih ruwet menurut Dimi). Selalu ada hal yang baru bagi kami. Belakangan, kami paling intens belajar bahasa arab melalui buku iqra’ yang mulai diperkenalkan bunda pada kami,hihihi…

Selalu ada yang ku jadikan bahan cerita untuk teman-temanku di sekitar kompleks rumah kami. Dan cerita Dimi, panggilan sayangku pada the twins itu, hanya untuk Flo dan beberapa teman-teman perempuan lainnya, huh! Meskipun, sebenarnya, tak satupun dari perempuan-perempuan itu yang mengerti cerita Dimi yang sangat complit!

Dari ribuan tempat yang kami kunjungi, membuat kami mulai membangun mimpi tentang masa depan. Meski kami tetap bermain-main bersama khayalan anak-anak seusia kami. Aku yang begitu terobsesi pada Zorro, membuatku ingin menjadi pahlawan pemberontakan, pembela kebenaran dan keadilan, saat ku besar nanti. Ini terinspirasi oleh sejumlah tokoh dunia yang diceritakan bunda, selain tentang Tomtitot yang tak pernah bosan kami dengarkan. Cita-cita ini, bisa diterjemahkan sebagai pemimpin sebuah organisasi terlarang yang menentang tiranisme pemerintah atau dominasi Negara maju seperti Amerika! Aku akan menjadi pemimpin yang diperhitungkan oleh Dunia, seperti Mahmood Ahmadinejad. Seperti Che Guevara, seperti Tan Malaka, seperti Rossa Luxemburg! Atau justru menjadi tentara di tapal batas, seperti… entahlah!

Dua orang hebat itu tak pernah protes dengan cita-cita kami. Karena kami dibesarkan dengan demokrasi yang diterapkan dengan murni. Kami boleh memilih dengan segala konsekuensi yang dibicarakan dari awal. Meskipun, saat bunda mengetahui aku ingin menjadi tentara, berkali-kali ditanyakan dan bercerita tentang system Negara yang membuat profesi satu itu seharusnya tidak menjadi pilihan bagi otak-otak cerdas yang kami miliki. Menurutnya, Kami tak kan lagi merdeka jika memilih tentara yang dibentuk menjadi mesin dengan doktrinasi di awal pertemuan. Menurutnya pula, hierarchy system yang terbentuk di institusi itu tak kan membuat kami bebas memilih dan merdeka. Bunda bilang, sikap kritis dan pertanyaanku yang selalu banyak itu tak kan berguna lagi saat masuk korps kesatuan bernama tentara.

Tentang cita-cita menjadi pemimpin organisasi terlarang atau pindah kewarganegaraan untuk membela kaum tertindas, bunda hanya mengangguk sambil mengatakan, “Bunda yakin, kalian sangat cinta pada kemanusiaan yang menghargai setiap nyawa, binatang sekalipun,” Hmm,… Bunda selalu menemukan cara untuk “menjaga” kami dari ketersesatan di jalan yang benar. Haha..

Lain halnya Dimitry. Bohemian cilik itu selau bercita-cita menjadi penulis yang pandai menyanyi dan dielu-elukan oleh banyak perempuan. Yang ingin memulai harinya dengan sebuah lagu. Yang ingin menjalani pagi dan siangnya dengan berjalan-jalan diantara rimbun hutan, ketinggian gunung atau pantai. Menulis dan melukiskan keindahan dan kesederhanaan yang terekam dalam gambar-gambar photografi. Dan ingin menghabiskan malamnya dengan buku-buku bacaan. Dia lebih suka mengabadikan rekaman dalam otaknya dalam kata dan frasa pilihan dalam sebuah sajak, dalam sebuah puisi daripada tulisan panjang dalam sebuah dongeng ataupun cerita.

Cita-cita ini sangat pas dengan nama yang melekat padanya. Berbeda dengan namaku yang hanya dipanggil sepenggal, bunda selalu memanggil nama saudara senasib seperjuanganku itu dengan nama yang lengkap, Dimitry. Menurut bunda, nama Dimitry tidak kalah ajaib daripada namaku. Nama pria flamboyan dengan gaya santai namun tetap rapi itu memang senada dengan perawakannya. Mengandung arti Dewa Kesuburan, diambil dari bahasa Rusia. Dewa kesuburan sangat identik dengan bumi, alam yang indah, romantis, dan, yah,… kesan itu memang Dimi banget!

Dimitry. Yang suka menghilang saat kami beranjak dewasa nanti, untuk pergi menyendiri. Ditelan sepi, diantara rimbunnya hutan-hutan yang menjadi dingin. Di antara ketinggian gunung, dan di tepi pantai. Dia, benar-benar terobsesi pada Christopher McCandless yang bertransformasi menjadi Alexander dalam film “Into the wild”. Selalu dicari orang-orang, digemari, dicintai dan… dia justru memilih menghilang diantara sahabat-sahabatnya sebangsa kukang, chitah dan terumbu! Ah, tak jelas benar bagiku, hobby ini didapat dari mana, ataukah kami sebenarnya terlahir dari turunan ketuju tarzan kota, seperti cerita-cerita Hollywood. Sehingga, gen sebangsa primata itu menyatu pada darah Dimi!haha,…

Dia sangat gila pada buku-buku, seperti bunda. Ini hal yang ku suka sekaligus kubenci. Karena, saat dia terjerat pada satu buku, ia bahkan tak mau beranjak dari tempat tidur untuk bermain. Atau tetap mengikutiku kemanapun, tanpa melepas perhatiannya pada buku. Kalau sudah begini, ia seperti orang buta yang harus kutunjukkan jalan yang benar.

Dimitry adalah kamus berjalan bagiku. Yang selalu mengetahui segala hal yang belum aku tahu. Hobbynya adalah bercerita seperti bunda, tetapi, aku merasa sedang mendengarkan seorang dosen yang sedang mengajar di depan kelas. Kebiasaan ini membuatku merasa tak perlu membaca buku-buku yang dihadiahkan bunda atau ayah pada kami. Aku cukup mendengarnya, karena ia akan bercerita dengan sangat detail dan rinci. Kadang, Dimi mengadukan kemalasanku untuk membaca pada bunda. Dengan ketangkasanku, aku menceritakan apa yang pernah diceritakan Dimi. Dibumbui dengan khayalanku dan gerak tubuh yang selalu ku praktekkan, hingga cerita itu menjadi lebih hidup! Haha,…

Kalau sudah begitu, Dimi tak kan mau menceritakan apapun padaku, selama seminggu! Hingga suatu hari aku menemukan formula yang lebih kreatif untuk membuatnya bercerita.

“Ah, aku lho nggak percaya kamu sudah baca apa belum,” Kataku ketika dia berkeras tak mau bercerita tentang buku dongeng Winnie The Witch seri pertama yang baru saja dibacanya. Hadiah dari bunda bulan ini.

“Ih, aku sih nggak malas seperti kamu,” Tukasnya sedikit emosi mendapati kredibilitasnya sebagai kutu buku diragukan.

“Coba sih, halaman satu apa isinya?” Pancingku. Ia lantas bercerita dengan lancar.

Buku dongeng yang ditulis Valerie Thomas itu, menurut Dimi, bercerita tentang penyihir bernama Winnie yang tinggal di rumah bercat hitam, berpakaian hitam dan mempunyai kucing bernama Wilbur berwarna hitam. Karena warnanya yang senada, membuat kucing kesayangannya itu sering terinjak atau tak sengaja diduduki. Karena kekacauan itu, si penyihirpun mengubah warna kulit Wilbur menjadi berwarna hijau. Abracadabra!!!

“Terus?” Tanyaku sambil berpura-pura acuh pada ceritanya dengan tetap focus pada permainan puzzle yang dihadiahkan ayah.

“Terus, karena Wilbur ketahuan tidur di tempat tidurnya Winnie, kucing itu diletakkanlah di taman depan rumah. Wilbur hijau itu kembali tak terlihat karena “bersatu” dengan warna rumput. Winnie kembali menyihir bulu Wilbur menjadi warna-warni, setelah sebelumnya Kucing itu melayang ke angkasa akibat tertendang Winnie,” Lanjut Dimi.

“Terus?” Gumamku sambil tertawa dalam hati.

“Ya terus, warna bulu Wilbur seperti pelangi,” Tukas Dimi bersemangat.

“Terus Winnie kembali tak sengaja menendang Wilbur ke Pelangi?” Tebakku dengan nada seperti orang menyelidik.

“Sok tahu! Nggak, yo… Gara-gara warnanya yang rupa-rupa itu Wilbur jadi ngambek. Nggak mau pulang ke rumahnya Winnie, karena malu… Dari situ, Winnie kesepian dan mulai berpikir ulang. Dia akhirnya merubah warna rumah dan perabot yang ada di dalamnya menjadi warna-warni. Sementara Wilbur kembali disulap berwarna hitam,” Jelasnya sedikit jengkel denganku dan bangga dengan penjelasannya.

“Makanya Dim, kalau jadi orang itu, harus intropseksi diri. Jangan sampai, karena sesuatu yang kita anggap baik, justru membuat orang lain tersiksa. Karena semua hal tidak bisa dan tidak harus sesuai dengan keinginan kita,” Tukasku. Kalimat ini membuat Dimitry terlongo-longo melihat kekalahan telak. Wajah cakepnya mendadak merah, ketika mendengar kesimpulan yang ku buat dari ceritanya, sebelum akhirnya dia memprotes kata yang ku sebut dengan salah.

“Introspeksi, bukan intropseksi!” Protesnya, berusaha membalik keadaan.

“Halah, salah sedikit aja lho,” Kataku sambil menjawil pipinya dan merangkulnya mengajak bermain. Sambil bersungut-sungut, ia balik merangkulku dan kami tertawa bersama,..

Dan kekalahan Dimi hari ini, dibalasnya kelak, saat kami belajar berpuasa untuk pertama kali. Selama seminggu aku berusaha buang angin sebelum imsyak. Karena menurut Dimi, berpuasa tidak boleh lepas dari wudlu. Kalau batal wudlu berarti batal bepuasa. Dimi sangat tahu hobbyku adalah buang angin. Dan selama seminggu itu, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak kentut sebelum maghrib. Begitu tersiksanya aku, sampai suatu ketika aku mendapati Ayah tetap kentut saat bercanda dengan kami, sebelum berbuka. Dengan bersemangat aku berteriak, Ayah batal puasa, justru disambut tawa lepas Dimi yang tiba-tiba menghilang dari hadapan kami!

Begitulah kehidupan kami yang masih ada dalam cita-cita. Masih ada dalam khayal ayah dan bunda. Entah kapan kami akan terwujud. Tapi, jika kami terwujud, pasti kami anak-anak yang hebat! Jika aku adalah matahari, dan Dimitri adalah Bumi, maka akan ada yang menyatukan kami dalam sebuah momen di ujung barat. Dialah Senja,…

Senin, 12 Oktober 2009

Kangen,…

Aku memperhatikan gerak-gerik perempuan berusia 50 tahun itu. Berjarak 30 meter dari tempatnya berdiri saat ini. Ia mematung di bawah pohon akasia yang terletak di depan sebuah universitas swasta, kota pendidikan. Rambutnya yang telah berwarna kelabu menari mengikuti arah angin yang menyapu wajahnya dari arah kiri. Diikuti guguran dedaun dari pucuk-pucuk pohon yang bergoyang-goyang searah. Ia merapatkan tais di ujung lehernya. Sebuah angkot berwarna biru sempat menghalangi pandangku.

Udara memang sangat dingin saat memasuki musim peralihan seperti saat ini. Angin bahkan lebih kencang berhembus akibat elnino, di bulan ini. Setidaknya, begitu yang dikatakan tivi dan beberapa media massa yang ku baca belakangan. Ah, tak sampai hati melihatnya yang sama sekali tak memakai baju rangkap. Ingin sekali aku menghampirinya dan menyorongkan jaket yang ku kenakan. Saat ku lihat kembali, seorang mahasiswi berpenampilan eksentris tak sengaja menyenggol pundaknya. Ia tak peduli.

Harusnya aku menangkapnya. Memasukkannya ke dalam mobil ambulance yang ku bawa dan mengembalikannya ke kamar pengap zal RSJ. Penjara kesadaran yang telah ditinggalinya selama 22 tahun lebih. Tapi aku tak hendak melakukannya, meski aku terancam dipecat jika ketahuan melakukannya. Akan diberi catatan hitam tentang pelanggaran kode etik dan beberapa hukuman lainnya. Ah, aku tak peduli. Sebab aku merasa, tempatnya memang bukan di zal batu itu.

Ia tetap memandang sebuah hotel mewah yang terletak persis di seberang jalan tempatnya berdiri. Hotel asri yang dikelilingi banyak pohon palm di depannya. Tak jelas benar bergaya apa bangunan itu. Ia hanya serupa bangunan megah yang berdiri angkuh menantang gedung universitas berkubah serupa masjid. Mata senjanya begitu sayu. Sedikit berair ku kira. Beberapa kali ku lihat ia mengerjap. Entah apa yang akan dilakukannya. Sedikit kekhawatiran muncul, ia akan melakukan tindakan lebih dari 22 tahun yang lalu. Tindakan yang membuatnya harus terkungkung di penjara kesadaran.

Ia adalah pasien pertamaku. Saat menjadi dokter muda, 22 tahun yang lalu. Pasien pertama yang membuatku iba untuk tidak membiarkannya sendiri. Pasien pertama yang membuatku ingin tetap memperhatikan perkembangannya. Pasien pertama yang membuatku jatuh cinta pada ilmu kejiwaan. Pasien pertama yang membuatku berfikir ulang tentang keberatanku ditempatkan di rumah sakit kecil kota kedua propinsi ini. Sekaligus pasien pertama yang membuatku mengerti perbedaan antara pura-pura gila, pura-pura waras dan pura-pura lainya. Di satu titik, analisaku mengatakan jika Ia adalah orang waras yang hanya ingin menumpahkan kemarahannya secara berlebihan.

Lebih dari 22 tahun yang lalu. Aku mendapatinya dikerangkeng di ruang gelap. Tersungkur mencium lutut di sudut ruangan tanpa penerangan dan sedikit ventilasi. Dua kali Tiga yang begitu dibenci oleh penghuni zal. Pengasingan dimana beberapa tahun kemudian justru menjadi tempat favoritnya saat ia ingin “menenangkan” diri.

Aku melihat catatan kesehatannya, secara fisik maupun kejiwaan. Dan alasan mengapa ia dibawa ke tempat untuk jiwa-jiwa yang sakit ini. Mencengangkan. Ia membakar sebuah hotel. Bangunan yang telah kembali berdiri megah dan terletak persis di hadapannya, kini. Sebelumnya, ia ditangani oleh aparat. Tinggal di dalam Sel tahanan selama beberapa waktu. Sampai pada suatu percakapan dengan penyidik.

“Apakah saudari dalam kondisi sehat?” seorang penyidik mengawali pertanyaan formal. Sesekali melirik wajah cantiknya. Berkali-kali sebelas jarinya salah memecet huruf dan angka pada tuts keyboard.

“Sedikit capek,” Jawabnya pendek dan percaya diri.

“Apakah saudari dalam kondisi sadar?” Tanya petugas, lagi. Sebuah ballpoint terjatuh menggelinding ke sudut meja, karena terdesak oleh tuts keyboard yang bergerak-gerak ke kanan.

“seratus persen,” Jawabnya tegas tanpa ragu. Sambil meletakkan ballpoint bertinta hitam itu kembali ke tempat semula. Pertanyaanpun berlanjut pada pertanyaan identitas dan kronologis peristiwa. Sejauh ini, semua lancar. Sehingga sang penyidik bersyukur tugasnya menjadi lebih ringan.

“Lalu, mengapa saudari melakukan pembakaran hotel pada malam itu?” Ada jeda yang panjang. Perempuan yang belum melewati separuh masa usia ukuran normal orang hidup di dunia itu mengerjap-ngerjapkan mata. Menahan buncahan air mata yang segera meluncur di pipinya. Ia tampak kesulitan menahan emosi yang meletup-letup mendengar pertanyaan tadi.

“Saya tidak bisa mengatakannya. Karena itu urusan saya pribadi. Terima kasih untuk tidak bertanya masalah itu,” Jawabnya tetap pendek. Jawaban ala artis dari perempuan itu membuat petugas berusia awal 40an itu keruh. Wajahnya semakin rusuh manakala teringat jawaban yang dianggapnya lelucon itu, sementara ia belum pulang setelah semalam begadang karena piket.

“Anda jangan main-main dengan petugas,” Hardik penyidik tadi berusaha memperlihatkan taringnya.

“Tidakkah cukup bagi anda untuk cukup mengetahui kronologinya. Tokh saya juga tidak akan lari untuk tidak bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan,” Jawabnya ketus, tanpa peduli pada kumis tebal sang petugas.

“Tentu saja saya harus tahu kenapa anda melakukan pembakaran itu. Karena ini berkaitan dengan motif. Apakah anda terkait dengan urusan terorisme misalnya. Karena teroris jaman sekarang kan bentuknya tidak lagi bercelana cekak, atau memakai burqa, untuk menutupi kebejatannya. Noordin M Top saja ditemukan bekas sodomi pada duburnya, jadi kan bukan tidak mungkin anda sebagai pelaku terorisme,” Omelah penyidik yang menekan papan nama bertuliskan Brigpol Santoso itu, diluar dugaan, justru membuat perempuan itu mengamuk. Ia mengeluarkan sumpah serapah yang lebih panjang dan lantang, sehingga petugas tadi menamparnya. Tamparan yang telak di pipi perempuan itu tak membuatnya terdiam. Ia justru menggebrak-gebrak meja dengan mengatakan bahwa ia bersumpah tak akan mengatakan apapun tentang mengapa ia membakar hotel itu.

Keterangan saksi mata, keluarga dan sahabatnya pun tak ada yang mengetahui mengapa ia melakukan pembakaran terhadap hotel itu. Catatan kegiatannya sejak SMA hingga kuliah dan saat bekerjapun relative bersih.

Ini juga terjadi ketika ia di hadapan persidangan. Tiga hakim yang memimpin sidang dibuatnya pusing tujuh keliling atas sikapnya yang tak terkendali. Menjerit-jerit dan bersumpah tidak akan mengatakan apapun tentang motifnya, hanya karena ia memiliki alasan pribadi yang tak perlu orang lain tahu.

Hal ini pula yang menyebabkan tim majelis hakim tidak mengirimnya ke lembaga pemasyarakatan, tapi justru ke penjara kesadaran. Saat itu ia menjerit-jerit tak tentu arah dengan memastikan bahwa dirinya masih waras dan melakukan pembakaran hotel itu dalam kondisi waras.

Ia berteriak bukan orang gila. Hal yang sering dilakukan oleh para orang gila baru yang dikirim. Ia juga tidak jarang mengamuk setelah kedapatan melamun dan menangis sesenggukan. Saat itulah obat penenang sering kali disuntikkan ke pembuluh darahnya. Saat melihat jarum suntik mengarah kepadanya, dengan berlutut nyaris menyembah, ia memohon untuk tidak disuntikkan cairan itu. Saat itulah, ia akan langsung tenang.

Saat itulah aku mulai mendekatinya. Bertanya apa yang dia inginkan. Ia meminta buku dan ballpoint. Tak seorangpun yang menganggapnya serius, sehingga seorang perawat hanya memberinya kertas Koran dan meminjamkan sebuan pensil.

“Buku, suster! Bukan Koran,” Hardiknya pada suster tadi. Kalau saja tak ada aku di tempat itu, mungkin sang suster telah menamparnya. Hal yang sering terjadi jika para dokter tidak sedang bertugas. Banyak sekali suster-suster yang sering menumpahkan kemarahan dan masalahnya di rumah pada pasien-pasien tidak waras ini.

Aku menyorongkan sebuah notebook yang kebetulan ku bawa. Ia memandangku menyorotkan terima kasih. Meski tak mengucapkan sepatah katapun. Dan sejak saat itu, ia memang jarang bicara. Hanya tenggelam dalam catatannya. Hanya tenggelam dalam dunia tulis yang dilakukannya sepanjang waktu. Bahkan, sapaanku setiap pagi untuk memeriksa kondisinya hanya diacuhkan saja, kecuali ia meminta buku tulis lagi.

Saat aku merasa ia mulai jinak dan terkendali, aku memilih mengijinkannya mengunjungiku di ruang kerjaku. Hal yang seharusnya tak boleh dilakukan. Tapi entah mengapa aku mempercayainya tak akan membahayakanku. Tak banyak yang berubah. Ia memang suka menungguiku di dalam kantor, sambil terus menulis. Ia hanya ‘mencuri’ ballpoint yang terletak di meja, kalau itu dianggap kesalahan. Ia hanya merampok kertas-kertas kosong yang tergeletak dekat printer jika itu dianggap suatu pelanggaran. Selain itu, ia lebih suka melakukan teraphynya di taman, tanpa menjawab satupun pertanyaanku, dan terus tenggelam dalam tulisannya.

Sesekali, ia pernah memintaku mengirimnya ke ruang isolasi. Saat dengan tiba-tiba ia menahan air mata dengan wajah yang teramat menyedihkan. Kalau sudah begini, aku lebih melihatnya sebagai seorang yang telah terserang candu narkoba yang berharap mendapatkan asupan gizi dari putau. Menangis, menggelepar-gelepar. Memegang kepala yang dan menjambak-jambak rambutnya sendiri. Tak jelas benar apa yang iya rapalkan, saat ku kuping ucapannya di ruang gelap itu. Ku kira itu semacam doa. Karena lamat-lamat ku dengar berbahasa arab, ku kira.

Hingga lima tahun pertama, pemandangan semacam itu masih sering ku lihat. Berangsur berkurang pada lima tahun berikutnya. Ia kembali terusik saat aku mengatakan bahwa kondisinya mulai membaik. Diluar dugaanku, ia justru menangis sejadi-jadinya. Meratap dan memintaku tidak mengirimnya kembali keluar.

“Saya tahu, saya bisa kembali membakar hotel itu jika saya ada di luar sana. Biarlah saya menjalani hukuman di RSJ ini,” Jawabnya sambil menyeka air mata.

Aku terkesima. Analisaku tak mungkin salah, bahwa ia mengingat dengan baik peristiwa pembakaran yang dilakukannya. Ia dengan sadar khawatir melakukan tindakan diluar kendalinya kembali. Ia dengan sadar mengaku tak ingin melakukan kesalahan lagi. Tak mungkin ini dilakukannya hanya karena takut pada ancaman penjara. Kasus ini bahkan mungkin polisi, jaksa dan majelis hakimnya telah renta dan memasuki masa pensiun atau bahkan telah mati. Ia bahkan telah mengabiskan hampir dari sepertiga hidupnya di RSJ ini.

Berhari-hari aku tak mendapatkan jawaban, sampai akhirnya aku berhasil mencuri notebook pertama yang pernah ku berikan kepadanya. Di halaman pertama, isinya hanya bertuliskan bahasa dan huruf arab tanpa harakat dengan found yang begitu besar, hampir memenuhi halaman. Aku tak tahu benar apa artinya, karena nilai mengajiku juga sampai juz amma. Aku hanya mengenal huruf-furuf yang tertulis adalah ‘Mim’ yang diganden dengan ‘Ra’, ‘Ya’, ‘Dal’, ‘Wau’ dan ‘Nun’. Ada jeda seperti untuk spasi sebelum akhirnya terdapat sejumlah huruf lain bertuliskan ‘Qof’ yang digandeng dengan ‘Lam’, ‘Ba’, dan ‘Ya’. Halaman selanjutnya, adalah tulisan berbahasa arab murni, tanpa harakat. Aku pusing dibuatnya. Kalaupun ini tidak ditulis dalam bahasa arab, pasti tulisan itu adalah tulisan pegon.

Tulisan itu begitu rapi. Ia bahkan menulisnya dengan huruf-huruf yang kecil-kecil, seolah sengaja menghemat space yang ada. Melihat tulisan yang tertata, aku menjadi ragu atas ketidakwarasannya. Aku memutar otak. Tak mungkin bagiku memintanya bercerita. Karena aku telah sangat gagal melakukannya. Nasibku bahkan tidak lebih baik dari pada Brigpol Santoso. Tidak mungkin pula bagiku untuk mencuri notebook itu dan mencari tahu isinya. Tindakan itu hanya membuatnya semakin jauh dari ku. Hal ini ku ketahui setelah ia mengamuk sejadi-jadinya pada salah satu pasien yang berusaha merampas buku yang sedang ditulisnya.

Aku berspekulasi. Aku meminjaminya laptop, ketika ia hendak memulai ritualnya untuk menulis di dekat jendela, tempat favoritnya. Di luar dugaanku, ia begitu suka menerimanya. Langsung membuka program MS Word dan mulai menulis. Tanpa lelah, ia terus menulis meskipun hari telah lewat siang. Ia bahkan tak hendak meninggalkan ruang kerjaku, kalau saja aku tak mengatakan sudah saatnya aku pulang. Ku janjikan untuk meminjaminya lagi esok hari, dan begitupun seterusnya.

Sialnya, saat aku berusaha mencari folder yang ditulisnya, ia dengan sangat lihai membuatnya tersembunyi. Bahkan, ketika folder tadi ku temukan, ia masih sempat memberikan passwords yang membuatku hampir angkat tangan. Aku bahkan harus mencari seseorang yang pandai membuka passwords untuk mengetahui isinya. Dan, saat passwords itu terbuka, ia tetap menulis dalam bahasa arab. Sial! Layanan internet yang ku pasang pada net book itu membantunya menulis melalui google.

Begitu seterusnya, sampai pada tulisan hari ke 73 di laptopku, ia menulis semacam cerpen. Pendek. Hanya 2 halaman. Berbahasa Indonesia dan bertulis alphabet Tapi dengan membacanya aku justru mengetahui kedalam hatinya. Ia bahkan tak secuek yang ditampakkannya. Entah untuk siapa cerpen itu tercipta, tapi kalau aku boleh GR pada orang gila satu ini, ia menulis tentang aku dan kegiatanku sebagai dokter.

Diksi yang sangat terpilih. Alur yang begitu rapi. Emosi yang begitu dalam. Anehnya, ia menuliskan nama penulis yang bukan namanya. Ingin menuntaskan penasaran, akupun berusaha mencari nama yang tertulis di bawah karangan pendek itu di sebuah situs internet. Hasilnya, aku baru menyadari jika ia adalah seorang penulis cerpen. Beberapa tulisannya bahkan dimuat di media nasional.

Aku semakin curiga dengan tulisan berbahasa arab itu. Dengan mencari seorang translater di tempat kursus bahasa asing, aku meminta terjemahan beberapa tulisan yang tersimpan di laptopku.

“Apakah ini sebuah novel atau sebuah diary?” Tanya seorang translater saat aku menjemput hasil terjemahan yang aku pesan. Aku menggeleng, dan tak tahu harus memberikan penjelasan apa.

“Tulisan ini sepertinya lanjutan dari tulisan sebelumnya,” Tambahnya lagi seraya menyerahkan flashdisk penyimpan tulisan pasien gilaku itu. Dan, saat aku mulai membaca tulisan terjemahan dari tulisannya, aku tertegun. Menyadari kedalaman hatinya. Menyadari ketertekanannya. Ketertekanan mengatasi rasa cinta yang mengungkungnya hingga kini. Ketertekanan saat cinta itu tak memilihnya karena salah waktu atau salah orang. Ketertekanan karena rasa kangen yang mengurungnya hingga kini. Ketertekanan yang membatnya tak bisa menerima ingatan-ingatan indah, yang justru membuatnya bersedih dan berontak. Ketertekanan yang membuatnya membakar sebuah hotel di depan universitas, tempat pertemuan pertama kali dengan seseorang yang begitu dicintainya. Tempat mencurahkan segala cinta tak terlupakan. Serta tempat pertemuan terakhir yang membuatnya kehilangan.

Di satu tulisan, ia bahkan menulis tentang puisi WS Rendra yang juga diterjemahkan dalam bahasa arab. Aku mengetahuinya dari sebuah terjemahan yang tertulis pengarangnya. Judul yang sama tertulis dalam notebook halaman pertama yang pernah aku temukan. Saat aku berusaha mencari puisi itu, aku tak menemukanya. Mungkinkan penerjemah tadi salah mengartikannya? Ataukah ia yang tak menemukan padanan kata dalam bahasa arab?

Dan hari ini, aku membiarkannya diam-diam keluar dari zal RSJ. Sebab hari ini adalah hari bersejarah baginya. Berdasarkan sebuah tulisan yang juga ditulis dalam bahasa arab. Aku bahkan mengetahui arah pelariannya. Di depan hotel itu.

Ia masih berdiri di posisinya saat sore berganti senja. Ragu untuk bergerak. Tetapi, berdetik kemudian, ia beringsut dengan menoleh kanan dan kiri untuk menyeberang. Seketika aku panic, saat mengetahui arahnya. Aku berusaha tetap tenang. Meski mulai tergesa pula untuk masuk ke dalam hotel itu, tanpa peduli ia mengetahui keberadaanku. Ku putuskan untuk tidak menghubungi siapapun terlebih dahulu. Meski aku tak pernah tahu apa yang akan dilakukannya di dalam, tapi aku yakin ia tidak akan kembali melakukan kebodohannya 22 tahun yang lalu.

Ia tampak sedikit takut dan canggung. Mungkin, ia khawatir kembali dikenali. Tapi, ia terus maju dan segera masuk ke sebuah restoran bernuansa etnik yang ada di lantai dasar. Memilih sebuah kusri di pojok kiri yang sedikit terlindung.

Aku memilih kursi berjarak tiga meja darinya, posisi yang ku anggap strategis jika ia berbuat sesuatu di luar prediksiku. Ketika aku sibuk memesan minuman, ia justru maju ke depan, menghampiri penyanyi kafe yang mengundang pengunjung untuk bernyanyi. Ia berbicara sejenak, sebelum akhirnya group band yang bertugas menghibur pada malam itu memberikan gitar akustik. Ia langsung mencari kursi yang diletakkannya pada posisi persis di depan mic yang diletakkan pada sebatang stand. Sekali lagi aku terkesima dibuatnya.

“Saya tidak ingin menyanyi. Atau setidaknya, nanti saja saya menyanyi,” Ucapnya lebih pada diri sendiri, bahkan seolah acuh pada pengunjung yang ada di sana. “Tapi saya akan membawakan sebuah puisi yang membuat saya hidup hingga hari ini. Yang mengobati saat rindu menyerang saya,” Ia mulai memetik dawai. Satu persatu.

“Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta,” Bait pertama dibacakannya tanpa gesa. Suasana haru dari petika gitar yang halus mulai mencuri pengunjung yang hadir untuk sekedar melihatnya.

“Kau tak akan mengerti segala lukaku kerena luka telah sembunyikan pisaunya,” Bait kedua dibacakannya dengan kata yang mulai bergetar.

“Membayangkan wajahmu adalah siksa. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan,” Bait ini, air matanya mulai membuncah di ujung selasar matanya yang indah.

“Engkau telah menjadi racun bagi darahku,” Bait ini kemarahan tanpa daya ditunjukkan wajahnya yang tetap menunjukkan gurat-gurat kecantikan, menurutku.

“Apabila aku dalam kangen dan sepi, itulah berarti aku tungku tanpa api,” Bait terkahir ini mengantarkan air mata ke pipi dan gitar yang sedang dipetiknya. Di bait terakhir ini pulalah, petikan dawai satu-satu berubah membentak indah menuju ke sebuah reff lagu yang tak kalah mendayu,…
… I thought we’d be sexy together, Thought we’d be evolving together, I thought we’d have children together, I thought we’d be family together, But I was sadly mistaken,…

Saat selesai menyanyikan lagu itu, ia segera menghampiriku dan berkata, “Saya siap kembali ke Zal batu itu,” Sambil tersenyum. Tapi entah kenapa, aku lebih suka membawanya ke penerbit dari pada membawanya pulang k RSJ.

_***_