Senja Medinah
Lengang.
Aku bersimpuh di kebun belakang. Di depan batu nisan bertuliskan namamu. Yang sedang bersanding bersama karibmu. Ah, kalian benar-benar sehidup semati. Hanya selang hari engkau menyusul kawan yang lebih dulu menghadap ilahi. Aku iri.
Pilu menyapa.
Celoteh burung perenjak terdengar dari kejauhan. Celoteh yang selalu membuatmu tenang duduk menunggu ilham. Di kursi malas, ditemani buku-buku. Saat sore semacam ini, biasanya engkau sedang minum teh. Bersamaku. Menikmati hembusan angin yang menjadi dingin di ambang sore nan layu.
Tak kan ku ubah kebiasaan itu, Mas. Karena itu, ku bawakan engkau seteko teh tubruk kesukaanmu. Menuangkannya dalam dua cangkir. Menyuguhkan satu untukmu, satu untukku.
Ah, biarkanlah sahabat karibmu, yang juga ditanam di pekarangan ini tertidur. Biarkan aku yang menemanimu sore ini. Kembali menikmati secangkir teh. Bersamamu. Ditemani kudapan yang ku beli dari pasar, siang tadi.
Mas,..
Ah, kau selalu marah saat ku panggil dengan sebutan itu. Tidak egaliter katamu. Tidak menunjukkan kesetaraan. Apalagi, katamu, aku adalah seorang yang berkesadaran, aktifis dan seniman perempuan. Tapi biarlah mas, di hadapanmu, aku tidak egaliter. Bukan untuk menganggapmu superior. Tapi lebih karena aku memujamu. Mencintaimu.
Saking cintanya aku padamu, mas, aku bahkan tak bisa berfikir normal. Bersikap normal dalam mengekspresikan rasa. Normalnya perempuan yang merasa cemburu saat melihat suaminya mengangkangi perempuan lain di sudut ruang meditasi, di semak pohon bamboo dekat sungai buatan, pekarangan rumah. Tempat yang sama, saat kita mengunjungi pucuk-pucuk asmara. Asmara, yang membuatku selalu menanggung rindu. Bahkan rindu itu ada, hingga kini, saat kau telah kembali ke tanah bersama peluh.
Tapi mas, jangan dikira hatiku tak terbakar, waktu ku lihat gelagat perempuan ranum seusia kakak anak perempuan kita, bergeliat manja mencuri birahimu. Aku cemburu. Saat kau membimbingnya mengeluarkan ekspresi terjujur untuk sebuah acting seni. Aku cemburu. Saat bahasa tubuhmu memperhalus gerakannya yang masih kaku disetiap latihan-latihan. Aku cemburu, saat kau memuji keistimewaan seni perempuan itu. Aku cemburu, saat kau tak berkedip melihatnya menari dengan gemulai. Sambil berpuisi. Saat memerankan naskah terbarumu. Yang diilhami kehadirannya.
Dan tak hanya satu perempuan, mas. Tak hanya satu perempuan yang ku ketahui intim denganmu. Bahkan disetiap ada pemain baru, murid baru, matamu selalu awas dan cergas memilih. Hingga suatu ketika aku bertanya, adakah kau juga merasa birahi pada anak perempuan kita yang kini menginjak masa dewasa?
Sungguh, aku marah dan cemburu. Tapi siapalah aku ini, mas. Akupun tak jauh beda dengan perempuan-perempuan tempatmu mencari inspirasi itu. Aku adalah perempuan ketiga dalam hidupmu. Yang kau kawin sebelum istri pertamamu meninggal dunia. Bahkan aku tetap berbagi kamu, dengan istri keduamu. Ah, mas…
Kenyataan ini menamparku. Aku seolah melihat cermin saat melihat perempuan-perempuan itu. Bagaimana aku begitu sangat bergelora mendengar rayuanmu melalui puisi dan naskah-naskah cinta yang kau buat untuk ku atau juga untuk negerimu. Aku juga sumber inspirasimu kan?
Orang bilang, aku terlalu memujamu. Sehingga aku hanya diam melihat tingkahmu dengan perempuan-perempuan muda itu. Bahkan sebagian dari mereka menganggapku bodoh. Aku bukan tidak mendengar gunjingan itu. Ah, persetan dengan rasan-rasan itu. Kalau saja mereka tahu, aku hanya tak tahu caranya marah kepadamu atau kepada perempuan-perempuan itu. sehingga yang bisa ku lakukan hanya bersikap dingin pada perempuanmu yang lain. Bagaimana mungkin aku marah pada cermin diriku sendiri?
Sekarang, ijinkan aku bercerita. Mas, semalam gadis kita bercerita ia berencana menikah dengan laki-laki beristri. Seniman. Usianya lebih dari separoh usia gadis kita. Ah, mungkin kau juga mengenalnya. Ya, kau pasti mengenalnya. Kau pasti mengenal juniormu di kampus dulu, sesama pegiat kampus, pegiat seni, pegiat jalanan…
Gadis kita itu mengatakan betapa ia telah jatuh cinta. Kata cinta itu diucapkan dengan gairah muda yang juga tak bisa ku bendung dulu, kepadamu. Ia bahkan tak takut-takut saat mengatakan padaku. Sama beraninya seperti saat aku bersikeras menentang larangan orang tuaku untuk menikahimu. Dengan getir harus ku katakan, anak kita itu bahkan dengan bangga memamerkan lelakinya padaku. Anak kita itu bahkan tidak meminta ijinku. Hanya memberi tahu, tanpa bertanya apakah aku berkenan atau tidak.
Tentu mas, aku tahu, aku ingat. Kita tidak pernah mendidik mereka inferior di bawah kita. Kita selalu memperlakukan anak-anak kita egaliter. Kita membiasakan mereka tidak harus meminta ijin atas apa yang mereka lakukan. Kita membuat mereka selalu harus bertanggung jawab pada keputusan pribadi dan perbuatan mereka sendiri. Tapi mas, taruhlah aku sebagai sahabat, tidakkah ia seharusnya menghitungku untuk memberikan pertimbangan?
Ah, mas,.. Sebetulnya aku tak pernah tahu harus bicara apa kalau saja gadisku itu meminta. Sejujurnya aku tak tahu harus bersikap bagaimana kalau saja ia bertanya. Inikah karma? Ah, mas. Kau tahu aku tak pernah mempercayai karma.
Aku hanya melihat cermin. Saat tanpa sengaja ku lihat ia sedang memompa adrenalin di bawah rumpun-rumpun bambu samping rumah. Bersama lelakinya. Tempat yang sama saat kau beradu cinta denganku atau dengan perempuan-perempuan lain. Meski aku tetap bernafas lega, ia tak mengambil tempat meditasimu, yang belakangan lebih sering ku gunakan untuk mengenangmu.
Tahukan engkau mas. Saat sendiri seperti ini, membuat rasa cemas lebih cepat datang. Meski aku tak pernah didamprat oleh kedua istrimu, tetapi aku bisa merasakan rasa tidak senang yang bersarang di hati mereka. Terutama oleh istri keduamu. Maka pengalaman itu membuatku was-was, kalau-kalau anak kita didatangi istri pacarnya. Kalau-kalau ia didamprat, seperti yang banyak terjadi di sinetron-sinetron murahan yang malas kita tonton.
Sekarang katakanlah padaku, mas. Apa yang akan kau lakukan atas kenyataan gadis kita itu? Sungguh aku tak mempunyai ide atas cermin retak yang ada di depanku kini.
“Bu,..” Oh, tidak… Mas, haruskah ku tolehkan wajahku pada gadis kita itu. Sementara mataku telah basah dan hidungku penuh dengan iluh,.. “Aku keluar dulu dengan mas Baskoro. Mungkin menginap,” Oh, Mas. Haruskah ku jawab iya? Atau bolehkan aku berkata tidak?
Di sela-sela kangen yang aku rasakan menggunung padamu, ada rasa marah, cemas dan tak nyaman, padamu juga pada diri sendiri, yang siap meledak di hatiku.
_***_
Senin, 28 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar