Sabtu, 05 Januari 2008

Inspirasi

Mengaji pada Sosok Pramudya

Berkali-kali ia "dibenamkan". Dalam Penjara jaman Orde Lama dan Orde Baru. Ia dinilai sejenis hantu, seperti virus. Seperti halnya ajaran Komunisme, Ia ditekan, bahkan "dibunuh" berkali-kali. Dijadikan "common enemy" oleh Orde Baru. Terakhir penderitaannya di tempat pembuangan biadab di Pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979).
Dalam wacana sastra Orde Baru, ia -seperti juga jutaan tapol lain di Indonesia- dianggap tak pernah ada. Ia tak pernah lahir, bernafas apalagi berkarya di Indonesia.

Tetapi, kegetiran yang dirasakannya justru dibalas dengan cara yang sangat beradab: melahirkan sejumlah karya gemilang. Menerbitkan sejumlah karya berkelas "sastra Nobel". Begitulah barangkali cara laki-laki kelahirlan Blora itu mengajarkan kebajikan kepada bangsanya.
Tak tampak satu pun kebencian pada bangsanya. Ketika ia harus makan bangkai tikus, cecak dan daging kuda yang terserang antrax, lamunannya justru melayang jauh ke jaman-jaman kegelapan sejarah bangsa Indonesia yang disembunyikan rapat-rapat oleh penguasa.
Ia tak mengeluh, hanya sesekali memaki, lewat sejumlah karyanya. Kecintaannya pada manusia Indonesia yang tersingkir, terkucil, jadi obyek, tapi tetap berupaya terus eksis begitu tinggi. Ia mencintai kemanusiaan begitu dalam Kita bisa melihat hal ini dari sejumlah karyanya mulai dari Perburuan, Keluarga Gerilya, Di Tepi Kali Bekasi hingga "tetralogi" Bumi Manusia.

Dan, disinilah letak kehebatannya. Semakin ditiadakan, ia semakin ada. Semakin eksis dalam ketiadaannya. Orang berebut membaca tulisan-tulisannya. Buku-buku karyanya yang selalu dilarang, laris seperti kacang goreng. Berkali-kali namanya disebut-sebut sebagai calon pemenang Nobel. Sejumlah lembaga sastra internasional juga mengangkatnya sebagai anggota kehormatan sebagai penghormatan atas dedikasinya pada dunia sastra.

Pramoedya Antanta Toer adalah sebuah fenomena anomali dalam bingkai politik Orde baru. Pram adalah seorang humanis tulen, sebagaimana sosok Multatuli yang dikaguminya habis-habisan.

Telaah:

Kalau Pram berjuang lewat kata dan karya yang begitu gemilang, aku masih bisa memahaminya. Sebab ia memang begitu dikotak dan dibuang, sehingga satu-satunya perjuangan yang disumbangkannya hanya sel-sel kelabu dalam otaknya yang begitu cair.
Tapi, apakah cara itu menjadi "efektif" ditengah-tengah sistem pemerintahan Indonesia yang dibikin "buta" dan "tuli", sementara tangan dan kaki kita tak terbelenggu oleh apapun? Jangankan yang hanya menghiba lewat kata, masyarakat yang menjerit lewat kelaparan, kemiskinan dan kebodohanpun tak pernah didengarkan.
Manusia-manusia tertindas yang begitu dicintai Pram itu, terus saja berkubang dalam ketiadaan.Di sisi lain, sudah terlalu banyak konsep dan teori untuk mengatasi semua masalah tanpa masalah. Kenyataannya?

3 komentar:

Anonim mengatakan...

gambaran mudah pemimpin bangsa ini menancapkan tombak subversip bagi anak bangsa yang kritis. Yakinlah, hal itu masih belum sirna dari bumi Pertiwi. Dengan bahasa dan kalimat lain...cengkeraman orde baru masih di semai oleh para cecunguknya....
kapan lahir Pram yang baru, dengan pemikiran dan visi untuk rakyat yang lebih maju.

Anonim mengatakan...

wah hebat banget....

Anonim mengatakan...

Mbak Dewi, aku sulit untuk bisa paham soal karya sastra, apalagi yang berat-berat seperti punya Pram. Jadi aku salut ma mbak Dewi, mudah-mudahan ntar jadi pesaing beratnya karya Pram. Sepertinya nyampek, deh. Dan sekarang lagi banyak momen yang bisa jadi setting kultur munculnya karya sekelas Pram, sepertinya kita semua sekarang kan kebingungan dan terjebak pada situasi aneh tentang lunturnya rasa kemanusiaan, lunturnya rasa setia kawan, lunturnya harga diri, lunturnya martabat, terampasnya kedaulatan ... dan berbagai bentuk pelacuran ... coba kita tengok kehidupan para buruh, para petani, para guru, ... ah semuanya terjebak pada komersialisasi kehidupan. Semuanya serba diperdagangkan, dihitung, dimatematiskan, dilogikakan ... ah mana nutut orang seperti saya ini, mbak ...
Yang di atas sana, juga pada bikin jebakan sendiri-sendiri (sebagian telah benar-benar terjeban masuk penjara). Sepertinya mereka itu tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ini menguatkan entrynya mbak Dewi yang sering dinilai dengan pikiran, tidak dengan hati. Banyak orang sekarang memang hilang hatinya, ditaruh di ranjang, di atas toilet atau di dalam sepinya keremangan kafe-kafe yang banyak bertebaran di kota Jember ini. Para ulama juga pada heran terhadap dirinya sendiri, terhadap peradaban sekitarnya ... dunia dan isinya dah demikian jauh berubah semakin kaku, tebal seperti, keras terbakar usia dan panas matahari kepentingan. Lho kapan selesainya? Film tidak berujung dari yang Maha Hebat Skenarionya ... Sehebat kehdiran mbak Dewi di dunia ini, di jember dan di rahim kasih-sayangNYA amiin.