Hi, namaku Reuben. Reuben, pakai ‘E’ setelah ‘R’. Meski dalam pelafalannya biasa terdengar ‘Ruben’ agar kau tak dianggap ‘katrok’ bahasa, tapi dalam penulisannya, harus tetap ditambahkan ‘E’ setelah ‘R’. Ini penting ku jelaskan, karena bunda memanggilku hanya dengan Re. Re yang menurut bunda adalah nama seorang dewa matahari. Re yang menurut kepercayaan Mesir kuno adalah Sumber kehidupan, sumber inspirasi. Dipuja dan diagungkan. Karenanya, orang-orang zaman mesir kuno dahulu bersembahyang menghadap timur saat fajar menyingsing. Sementara ayah dan semua orang memanggilku ‘Ruben’ atau ‘Ben’. Mengapa namaku berkolaborasi antara Dewa Matahari dengan Presenter kocak yang sekarang lagi naik daun itu? Entahlah, ku kira hanya bunda yang mempunyai alasannya.
Hei, Jangan bayangkan aku seperti Ruben Onsu, presenter kocak cenderung gila itu! Aku jauh lebih kocak dan lebih seru, dengan caraku. Jangan berkhayal wajahku seperti Ruben Elishama si bintang film ganteng dan berbakat tapi sedikit tidak laku itu. Aku jauh lebih tampan dan lebih cool. Tentu saja dengan caraku sendiri.
Aku adalah warga dunia. Yang lahir dari kolaborasi pemikiran dua orang hebat. Ayah dan bundaku. Meskipun keduanya lahir dari dua suku berbeda di pulau jawa, tetapi aku tak pernah diajarkan tentang budaya-budaya yang cenderung membuat kemunduran pada perkembangan dan peradaban manusia. Bahasa yang diajarkan keduanya adalah bahasa perdamaian. Persaudaraan yang ditanamkannya adalah kemanusiaan. Tanpa melihat etnis, suku bangsa atau bahkan agama. Dan, cinta yang diwariskannya adalah cinta ilmu.
Ayah dan bunda. Orang yang selalu cinta pada kemanusiaan. Orang yang selalu marah pada ketidakadilan, ketimpangan social, dan selalu bersuara tentang kesetaraan. Hak asasi manusia. Terutama bunda yang selalu berteriak kencang ketika ada pelecehan terhadap perempuan. Dengan caranya, mereka akan memperjuangkan, mengkampanyekan dan menyadarkan orang tentang pentingnya kehidupan, bukan sekedar hidup. Kata mereka, kehidupan adalah film favorit panjang yang tak pernah usai.
Akan ku ceritakan sedikit tentang ayah dan bundaku, agar kau mempunyai gambaran yang jelas tentang aku. Sekarang, ayahku adalah ketua Komnas HAM. Posisinya terancam karena ia sering menabrak keinginan Presiden, penguasa Negeri ini. Ku dengar pertengkarannya di ruang rapat, siang tadi. Seluruh anggota Komnas HAM tidak mau mengungkapkan temuan mereka terkait kematian aktifis HAM, Munir. Kasus lama yang tak pernah selesai. Yang tak pernah terungkap fakta sebenarnya. Hanya karena presiden tidak berkenan. Tepatnya, seluruh system yang mempengaruhi presiden yang juga tak menginginkan fakta itu terungkap. Karena akan mencoreng-moreng banyak lembaga, termasuk Badan Intelejen Negara yang tak pernah tersentuh.
Ah, ia tak peduli dengan posisinya. Aku tahu itu, karena aku sangat mengenalnya. Ia tak peduli besok akan dipecat. Ia bahkan tak peduli tentang ancaman yang belakangan mulai sampai ke HP bunda. Ia terlampau percaya diri, tak mempunyai cacat politik atau hukum sedikitpun. Ku rasa, nasibnya akan serupa dengan orang yang sekarang sedang dibelanya. Ayah bilang, kemanusiaan ada bukan untuk dibiarkan tapi untuk dihormati. Jadi, bila kemanusiaan diabaikan, harus diperjuangkan.
Bundaku. Bundaku adalah seorang jurnalis media internasional. Sama seperti ayah, sebelum menjadi kandidat dan menjabat sebagai Ketua Komnas HAM. Dia adalah perempuan workaholic yang tak pernah mengenal kata lelah. Perempuan terseksi yang pernah ku kenal. Ah, jangan bayangkan bunda seperti Angelina Jolie. Dia jauh lebih berantakan dari Meg Ryan! Tapi, tingkat keseksian perempuan berkaca mata itu karena kecintaannya pada buku. Buku yang selalu disebutnya sebagai kunci kotak Pandora masa lampau, dunia global, dan masa depan. Katanya, dunia dan seisinya adalah buku yang tak pernah usai dibaca.
Bunda tak pernah alpa membacakan kami sebuah dongeng sesaat sebelum kami terlelap. Banyak dongeng. Mulai dari dongeng rekaan, sampai sejarah-sejarah tokoh-tokoh besar dunia, yang diceritakannya dengan apik dan menarik. Karena dongeng-dongeng itu, aku jadi sering bermimpi bertemu Karl Marx, beradu argument dengan Adam smith, mengikuti perjamuan Plato, atau terlibat dalam perang Gerilya. Tak jarang aku juga sering bermimpi menjadi Peterpan, menjadi Jin sahabat Aladin, atau menjadi Anoman dalam seri pewayangan! Haha…
Saat bercerita, bunda selalu menyertakan sebuah buku dan gambar-gambar apik yang menjadi ilustrasi. Dari semua cerita yang tak pernah habis itu, Dongeng favorit yang sering diceritakannya tentang Tomtitot. Pahlawan berusia 5 tahun, pembela kebenaran. Berambut cepak, berpipi tembam, berbadan ginuk-ginuk, bertopeng zorro. Suka bermain, suka tertawa, suka bermimpi, suka membaca, suka mengaji. Dengan sebuah kalimat sandi, “Nimi-Nimincrot, Namaku Tomtitot!”. Ku kira tokoh ini adalah zorro edisi kecil.
Sambil mengusap kepala kami, bunda bercerita jika Tomtitot ada untuk menghibur gadis kecil yang menangis kehilangan es krimnya yang jatuh, leleh. Tugasnya menghibur nenek tua yang rindu pada cucunya. Tugasnya bermain bersama anak-anak seusianya di taman baca, dekat taman kota, yang sedang ditinggal bekerja oleh ibu mereka. Dengan permainan-permainan seru atau juga dongeng yang asyik. Entah terinspirasi dari mana, karena tak ada satupun buku yang pernah dibacakan untuk kami bercerita tentangnya. Bunda bilang, cerita itu juga diceritakan nenek waktu ia masih kecil. Entahlah, kadang aku merasa, pahlawan cilik rekaan itu lebih mirip kami.
Ah, ya, kami. Bukan hanya aku. Aku terlahir tidak sendiri. Saat mimpi itu terajut, aku lahir bersama dengan kembaranku bernama Dimitry. Jangan bayangkan kami adalah dua kembar bagai pinang di belah dua. Kami hanya akan tampak mirip kalau sedang tidur, itupun jika sedang memakai penutup kepala. Sebab, jika rambutku gondrong berseni kelas tinggi, maka rambut Dimitry tak lebih dari 1 centi. Berpakaian senada dan tertata rapi. Selebihnya, kami adalah twins yang saling melengkapi. Dan kami adalah kolaborasi warisan kedua orang hebat itu.
Eits, jangan bayangkan bahwa kami adalah pemuda berusia 17 hingga 25 tahun! Tidak, kami masih sangat kecil dari itu. Entahlah berapa usia kami. Tapi yang jelas, ayahku masih kuat menggendong kami berdua, sekaligus!
Meskipun rambutku gondrong yang seharusnya lebih banyak dielu-elukan, tetapi, Dimitrylah yang banyak didekati gadis-gadis cilik seusia kami. Sebab ia tercipta menjadi laki-laki yang ramah, pandai bicara dan menarik perhatian. Ku kira ilmu ini didapat dari ayah. Sebab dalam sejarah hidup ayah, yang ku tahu, ia selalu berdekatan dan dikelilingi perempuan-perempuan cantik. Bukan karena wajahnya yang menurutku pas-pasan. Tapi, lebih karena tutur kata yang mencuri perhatian telinga setiap pendengarnya. Meskipun, jika ia bercerita, ku kira tak terlalu menarik, karena disertai dengan data yang terlalu rinci.
Aku sedikit pendiam (Dimi tak pernah setuju gambaran ini) dan cenderung cuek, seperti bunda. Aku lebih banyak menderita karena sering dicubit pipiku yang cubby oleh tante-tante atau budhe-budhe teman ayah dan bunda. Mereka bilang aku menggemaskan karena sangat aktif, hyper aktif, tepatnya. Selalu saja ada yang ku lakukan sehingga membuat mereka tertawa-tawa. Hobbyku memakai topeng zorro, tetapi celana pendekku bernuansa etnik batik yang dibelikan bunda di Djogja. Penampilan eksentris ini membuat mereka selalu ingin menggendongku. Padahal, aku sudah cukup umur untuk berjalan. Beberapa orang terkadang berpura-pura cadel untuk mengambil hatiku. Padahal, perkembanganku sudah cukup baik untuk berbicara dengan jelas. Meski, aku harus terus menambah perbendaharaan vocabulary.
Satu-satunya yang menghubungkan antara aku dan Dimitry adalah pertemanan kami dengan sejumlah anak-anak laki-laki di kompleks rumah kami. Bersama mereka, kami selalu memimpin kreatifitas yang selalu menjadi inspirasi permainan dari hari ke hari. Permainan congklak yang banyak ditinggalkan oleh anak-anak metropolis kembali kami mainkan. Kasti, petak umpet, gambaran, gobak sodor, layang-layang,… Permainan yang banyak ditinggalkan karena games-games PS atau games-games komputer. Permainan-permainan itu terinspirasi dari cerita-cerita bunda yang sesekali kami praktekkan. Ia bahkan memberi kami dispensasi untuk terlambat tidur, jika kami ingin mempraktekkan cerita yang baru saja kami dengar darinya. Haha, bundaku yang cantik itu memang orang yang atraktif!
Tak satupun anak-anak perempuan di kompleks kami yang bergabung, kecuali Flo. Flo yang tomboy, anak perempuan kesepian yang sering ditinggal orang tuanya bekerja. Kehidupannya hanya bersama dua orang baby sitter yang lebih sering bergosip sendiri daripada menjalankan tugasnya. Kalau Dimitry dan aku sengaja lewat depan rumahnya untuk pergi ke lapangan kompleks kami, maka dengan mengendap-endap dia akan keluar rumah dengan meloncat jendela dan memanjat pagar rumah.
Flo akan menelphon ke rumah jika kami tiba-tiba ikut ayah ke luar kota atau bahkan ke luar negeri. Dengan suaranya yang cempreng, ia akan memekakkan telinga bunda, dan berpesan ini dan itu, kalau kami sudah pulang nanti. Ia akan meminta nomor telephone ayah. Menelphon saat ayah sedang melakukan reseach atau wawancara dengan seorang narasumber. Ayah akan mengerutkan dahi, mendengar suara di seberang. Sedikit menjauhkan HP dari telinganya, menggeleng-geleng sambil menyerahkan selularnya pada Dimitry. Flo akan mengatakan hal yang sama persis dengan yang dikatakan pada bunda.
Ya, kami sering berpetualang bersama ayah. Ke seluruh pelosok Indonesia raya. Ke sudut-sudut dunia. Mengikuti konfrensi ini dan itu. Mengikuti sekolah pendek, atau research untuk tulisannya. Ke tempat-tempat terjadinya gunung meletus, banjir bandang, sampai tsunami. Ke suku-suku terpencil, Suku Dayak, Sasak, Mentawai, Badui, Samin,… Uph, tak terhitung lagi kegiatan yang kami lakukannya.
Tugas kami di tempat-tempat itu adalah berkreatifitas. Bermain dengan segala hal yang yang ada. Berteman dengan teman-teman ayah, berteman dengan beberapa anak yang berada di sekitar lingkungan baru kami, dan menghibur seluruh anak-anak yang kehilangan rumah atau orang tua mereka. Jika tugasku adalah beraksi agar anak-anak itu tak lagi bersedih saat pengungsian, maka tugas Dimi adalah memotret. Dengan kamera butut yang dihadiahkan ayah untuk kami, dia selalu mengambil pose-poseku bersama anak-anak kecil itu, layaknya seorang photographer terkenal! Mengikuti beberapa gaya cara mengambil angle ayah atau teman-teman photographer ayah. (Itu, kami lakukan sebelum ayah menjadi ketua Komnas HAM).
Meskipun ikut bunda juga menyenangkan, tetapi, jalan-jalan bersama ayah adalah hal yang lebih menegangkan! Karena, kegiatan ayah lebih berupa-rupa daripada bunda. Sementara bunda, menjadi kontributor untuk daerah tertentu, sehingga tak bisa berkeliling-keliling sesuka hati, seperti ayah. Kecuali, dia sedang ada undangan menjadi pembicara ini dan itu, atau pelatihan ini dan itu, atau semacam itulah. Dan semua acara itu dilakukan di hotel atau kampus, huh! Membosankan.
Perjalanan kami ke pelosok penjuru dunia, membuat kami pintar belajar setiap bahasa yang ada di dunia. Meskipun semua hanya sebatas percakapan. Kalau Cuma bahasa Indonesia dan English, kami menggunakannya bersama ayah dan bunda setiap waktu. Bahasa Perancis, Jerman, Tagalong, juga sejumlah bahasa di Indonesia seperti bahasa Aceh, Nias, Sulawesi, Ambon, Kalimantan, Jawa dan Madura. Hobbyku berceloteh dan bertanya ini dan itu, membuat semuanya pelajaran lebih mudah (tapi lebih ruwet menurut Dimi). Selalu ada hal yang baru bagi kami. Belakangan, kami paling intens belajar bahasa arab melalui buku iqra’ yang mulai diperkenalkan bunda pada kami,hihihi…
Selalu ada yang ku jadikan bahan cerita untuk teman-temanku di sekitar kompleks rumah kami. Dan cerita Dimi, panggilan sayangku pada the twins itu, hanya untuk Flo dan beberapa teman-teman perempuan lainnya, huh! Meskipun, sebenarnya, tak satupun dari perempuan-perempuan itu yang mengerti cerita Dimi yang sangat complit!
Dari ribuan tempat yang kami kunjungi, membuat kami mulai membangun mimpi tentang masa depan. Meski kami tetap bermain-main bersama khayalan anak-anak seusia kami. Aku yang begitu terobsesi pada Zorro, membuatku ingin menjadi pahlawan pemberontakan, pembela kebenaran dan keadilan, saat ku besar nanti. Ini terinspirasi oleh sejumlah tokoh dunia yang diceritakan bunda, selain tentang Tomtitot yang tak pernah bosan kami dengarkan. Cita-cita ini, bisa diterjemahkan sebagai pemimpin sebuah organisasi terlarang yang menentang tiranisme pemerintah atau dominasi Negara maju seperti Amerika! Aku akan menjadi pemimpin yang diperhitungkan oleh Dunia, seperti Mahmood Ahmadinejad. Seperti Che Guevara, seperti Tan Malaka, seperti Rossa Luxemburg! Atau justru menjadi tentara di tapal batas, seperti… entahlah!
Dua orang hebat itu tak pernah protes dengan cita-cita kami. Karena kami dibesarkan dengan demokrasi yang diterapkan dengan murni. Kami boleh memilih dengan segala konsekuensi yang dibicarakan dari awal. Meskipun, saat bunda mengetahui aku ingin menjadi tentara, berkali-kali ditanyakan dan bercerita tentang system Negara yang membuat profesi satu itu seharusnya tidak menjadi pilihan bagi otak-otak cerdas yang kami miliki. Menurutnya, Kami tak kan lagi merdeka jika memilih tentara yang dibentuk menjadi mesin dengan doktrinasi di awal pertemuan. Menurutnya pula, hierarchy system yang terbentuk di institusi itu tak kan membuat kami bebas memilih dan merdeka. Bunda bilang, sikap kritis dan pertanyaanku yang selalu banyak itu tak kan berguna lagi saat masuk korps kesatuan bernama tentara.
Tentang cita-cita menjadi pemimpin organisasi terlarang atau pindah kewarganegaraan untuk membela kaum tertindas, bunda hanya mengangguk sambil mengatakan, “Bunda yakin, kalian sangat cinta pada kemanusiaan yang menghargai setiap nyawa, binatang sekalipun,” Hmm,… Bunda selalu menemukan cara untuk “menjaga” kami dari ketersesatan di jalan yang benar. Haha..
Lain halnya Dimitry. Bohemian cilik itu selau bercita-cita menjadi penulis yang pandai menyanyi dan dielu-elukan oleh banyak perempuan. Yang ingin memulai harinya dengan sebuah lagu. Yang ingin menjalani pagi dan siangnya dengan berjalan-jalan diantara rimbun hutan, ketinggian gunung atau pantai. Menulis dan melukiskan keindahan dan kesederhanaan yang terekam dalam gambar-gambar photografi. Dan ingin menghabiskan malamnya dengan buku-buku bacaan. Dia lebih suka mengabadikan rekaman dalam otaknya dalam kata dan frasa pilihan dalam sebuah sajak, dalam sebuah puisi daripada tulisan panjang dalam sebuah dongeng ataupun cerita.
Cita-cita ini sangat pas dengan nama yang melekat padanya. Berbeda dengan namaku yang hanya dipanggil sepenggal, bunda selalu memanggil nama saudara senasib seperjuanganku itu dengan nama yang lengkap, Dimitry. Menurut bunda, nama Dimitry tidak kalah ajaib daripada namaku. Nama pria flamboyan dengan gaya santai namun tetap rapi itu memang senada dengan perawakannya. Mengandung arti Dewa Kesuburan, diambil dari bahasa Rusia. Dewa kesuburan sangat identik dengan bumi, alam yang indah, romantis, dan, yah,… kesan itu memang Dimi banget!
Dimitry. Yang suka menghilang saat kami beranjak dewasa nanti, untuk pergi menyendiri. Ditelan sepi, diantara rimbunnya hutan-hutan yang menjadi dingin. Di antara ketinggian gunung, dan di tepi pantai. Dia, benar-benar terobsesi pada Christopher McCandless yang bertransformasi menjadi Alexander dalam film “Into the wild”. Selalu dicari orang-orang, digemari, dicintai dan… dia justru memilih menghilang diantara sahabat-sahabatnya sebangsa kukang, chitah dan terumbu! Ah, tak jelas benar bagiku, hobby ini didapat dari mana, ataukah kami sebenarnya terlahir dari turunan ketuju tarzan kota, seperti cerita-cerita Hollywood. Sehingga, gen sebangsa primata itu menyatu pada darah Dimi!haha,…
Dia sangat gila pada buku-buku, seperti bunda. Ini hal yang ku suka sekaligus kubenci. Karena, saat dia terjerat pada satu buku, ia bahkan tak mau beranjak dari tempat tidur untuk bermain. Atau tetap mengikutiku kemanapun, tanpa melepas perhatiannya pada buku. Kalau sudah begini, ia seperti orang buta yang harus kutunjukkan jalan yang benar.
Dimitry adalah kamus berjalan bagiku. Yang selalu mengetahui segala hal yang belum aku tahu. Hobbynya adalah bercerita seperti bunda, tetapi, aku merasa sedang mendengarkan seorang dosen yang sedang mengajar di depan kelas. Kebiasaan ini membuatku merasa tak perlu membaca buku-buku yang dihadiahkan bunda atau ayah pada kami. Aku cukup mendengarnya, karena ia akan bercerita dengan sangat detail dan rinci. Kadang, Dimi mengadukan kemalasanku untuk membaca pada bunda. Dengan ketangkasanku, aku menceritakan apa yang pernah diceritakan Dimi. Dibumbui dengan khayalanku dan gerak tubuh yang selalu ku praktekkan, hingga cerita itu menjadi lebih hidup! Haha,…
Kalau sudah begitu, Dimi tak kan mau menceritakan apapun padaku, selama seminggu! Hingga suatu hari aku menemukan formula yang lebih kreatif untuk membuatnya bercerita.
“Ah, aku lho nggak percaya kamu sudah baca apa belum,” Kataku ketika dia berkeras tak mau bercerita tentang buku dongeng Winnie The Witch seri pertama yang baru saja dibacanya. Hadiah dari bunda bulan ini.
“Ih, aku sih nggak malas seperti kamu,” Tukasnya sedikit emosi mendapati kredibilitasnya sebagai kutu buku diragukan.
“Coba sih, halaman satu apa isinya?” Pancingku. Ia lantas bercerita dengan lancar.
Buku dongeng yang ditulis Valerie Thomas itu, menurut Dimi, bercerita tentang penyihir bernama Winnie yang tinggal di rumah bercat hitam, berpakaian hitam dan mempunyai kucing bernama Wilbur berwarna hitam. Karena warnanya yang senada, membuat kucing kesayangannya itu sering terinjak atau tak sengaja diduduki. Karena kekacauan itu, si penyihirpun mengubah warna kulit Wilbur menjadi berwarna hijau. Abracadabra!!!
“Terus?” Tanyaku sambil berpura-pura acuh pada ceritanya dengan tetap focus pada permainan puzzle yang dihadiahkan ayah.
“Terus, karena Wilbur ketahuan tidur di tempat tidurnya Winnie, kucing itu diletakkanlah di taman depan rumah. Wilbur hijau itu kembali tak terlihat karena “bersatu” dengan warna rumput. Winnie kembali menyihir bulu Wilbur menjadi warna-warni, setelah sebelumnya Kucing itu melayang ke angkasa akibat tertendang Winnie,” Lanjut Dimi.
“Terus?” Gumamku sambil tertawa dalam hati.
“Ya terus, warna bulu Wilbur seperti pelangi,” Tukas Dimi bersemangat.
“Terus Winnie kembali tak sengaja menendang Wilbur ke Pelangi?” Tebakku dengan nada seperti orang menyelidik.
“Sok tahu! Nggak, yo… Gara-gara warnanya yang rupa-rupa itu Wilbur jadi ngambek. Nggak mau pulang ke rumahnya Winnie, karena malu… Dari situ, Winnie kesepian dan mulai berpikir ulang. Dia akhirnya merubah warna rumah dan perabot yang ada di dalamnya menjadi warna-warni. Sementara Wilbur kembali disulap berwarna hitam,” Jelasnya sedikit jengkel denganku dan bangga dengan penjelasannya.
“Makanya Dim, kalau jadi orang itu, harus intropseksi diri. Jangan sampai, karena sesuatu yang kita anggap baik, justru membuat orang lain tersiksa. Karena semua hal tidak bisa dan tidak harus sesuai dengan keinginan kita,” Tukasku. Kalimat ini membuat Dimitry terlongo-longo melihat kekalahan telak. Wajah cakepnya mendadak merah, ketika mendengar kesimpulan yang ku buat dari ceritanya, sebelum akhirnya dia memprotes kata yang ku sebut dengan salah.
“Introspeksi, bukan intropseksi!” Protesnya, berusaha membalik keadaan.
“Halah, salah sedikit aja lho,” Kataku sambil menjawil pipinya dan merangkulnya mengajak bermain. Sambil bersungut-sungut, ia balik merangkulku dan kami tertawa bersama,..
Dan kekalahan Dimi hari ini, dibalasnya kelak, saat kami belajar berpuasa untuk pertama kali. Selama seminggu aku berusaha buang angin sebelum imsyak. Karena menurut Dimi, berpuasa tidak boleh lepas dari wudlu. Kalau batal wudlu berarti batal bepuasa. Dimi sangat tahu hobbyku adalah buang angin. Dan selama seminggu itu, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak kentut sebelum maghrib. Begitu tersiksanya aku, sampai suatu ketika aku mendapati Ayah tetap kentut saat bercanda dengan kami, sebelum berbuka. Dengan bersemangat aku berteriak, Ayah batal puasa, justru disambut tawa lepas Dimi yang tiba-tiba menghilang dari hadapan kami!
Begitulah kehidupan kami yang masih ada dalam cita-cita. Masih ada dalam khayal ayah dan bunda. Entah kapan kami akan terwujud. Tapi, jika kami terwujud, pasti kami anak-anak yang hebat! Jika aku adalah matahari, dan Dimitri adalah Bumi, maka akan ada yang menyatukan kami dalam sebuah momen di ujung barat. Dialah Senja,…
Minggu, 25 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar