Aku membuka mata. Saat sentuhan hangat terasa di bibirku. Ku lihat mata sipit itu sedang memandangku. Memberikan seulas senyum. Senyum yang renyah. Mengembang menjadi tawa, tanpa suara. Tawa yang juga renyah itu menyirat kalimat selamat pagi. Aku juga tersenyum. Merapatkan tangannya yang masih melingkar di pinggangku. Mendekapnya dengan erat. Dan berbisik, selamat pagi,…
Pagi ini berbeda dengan pagi kemarin. Di tempat tidur ini, aku tak lagi sendiri. Ada dia yang telah mengucap sumpah di hadapan Tuhan. Untuk bersama, berharap selamanya.
Di luar, kabut tipis sisa hujan semalam masih menempel pada jendela kamar kami. Aku beranjak setelah kami menekuri satu kegiatan yang akan menjadi ritual kami, pada pagi-pagi berikutnya. Menyingkap gorden. Membuka jendela. Menghirup oksigen beberapa jenak. Menyapa anggrek yang tertengger di pohon mangga, digoda seekor burung. Menyapa rumput hijau yang tampak segar, basah.
Aku berbalik ketika ku lihat dia keluar dari kamar mandi. Mengganti posisinya. Bersuci. Untuk mengucapkan syukur di awal pagi yang istimewa ini. Syukur yang tak lagi ku sampaikan sendiri. Setetes embun diam-diam meleleh dari ujung mata, sesaat setelah mengucap amiiin,…
Senyap yang terjadi beberapa menit sebelumnya mulai bertransformasi. Seiring berdentumnya suara Koil menyanyikan lagu perang! Aku tertawa sambil menggeleng. Inilah perbedaan kedua setelah aku bersamanya. Memang tak selalu lagu rock. Kadang malah slow, mellow. Yang tak pernah ku dengar dia memutar lagu dangdut. Kalau otak nakalku berpikir, mungkin dia masih gengsi, haha… Akan selalu ada music menemani kami mengawali pagi. Dimulai ketika matahari masih malu-malu menyembul di diantara pohon kelapa, di kejauhan sana.
Mendengar teriakan Koil itu, asyik juga. Menyapuku seperti ada nada dasar yang harus diikuti. Tertata rapi dalam tujuh not tangga nada. Ah, tidak. Diantara tujuh not yang ada dalam alat musik, ku kira Koil tak menggunakan not Re dan Fa. Sementara Do dan Re digunakan pada not-not tinggi. Kepalaku mengangguk ke kanan ketika sapu itu ku arahkan ke belakang. Mengangguk ke kiri ketika sapu itu mengarah ke depan. Seorang tetangga terlihat tersenyum-senyum menahan tawa saat melintas di depan pintu yang baru saja ku buka. Mungkin ia melihat ku berjingkat-jingkat tak karuan.
Aku melempar senyum. Mengangguk. Iapun tersenyum. Juga mengangguk. Hari ini, hanya bahasa tubuh itu yang bisa ku berikan. Aku khawatir menyinggung tetangga yang belum ku kenal itu jika aku menyapa dengan bahasa Indonesia. Ah, seharusnya tidak seperti itu. Seharusnya tetap ku sapa dengan bahasa. Tapi, aku terbawa steriotipe di kampungku. Tak baik menyapa orang yang lebih tua dengan bahasa Indonesia. Dikira menghina. Sebab mereka tak berbahasa Indonesia. Meski aku tahu, aturan itu hanya mengada-ada. Entahlah, besok aku akan memperbaikinya.
“Sayaaaaaangggg, telurnya di mana?” Teriakan itu keluar dari arah dapur. Aku tergopoh begitu ku selesaikan sapuku. Pagi-pagi berikutnya, aku tahu teriakan itu untuk mengajakku masak bersama. Ia lebih sering menjadi koki utama menyediakan sarapan pagi. Tak jarang juga aku. Meski tak banyak resep yang aku tahu, dan harus mengganggu umi yang sedang bersiap untuk mengajar di TK.
“Catatlah resepnya, biar nggak telpon terus,” Keluh umi, berpagi-pagi berikutnya. Sambil tertawa ku katakan, “Tak, lah. Kan umi masih sehat. Dan akan selalu sehat,” Aku tahu perempuan itu sedang menyimpul senyum.
“Tuh, susunya. Diminum dulu,” Sapanya ketika melihatku masuk. Tanpa melepas perhatiannya pada bumbu-bumbu yang sedang ditekuninya. Aku melihat dua gelas susu sudah tersedia di meja. Mengambil keduanya. Menyorongkan salah satunya. Ia menggeleng. Aku mengerutkan kening, sambil tak melepas senyumku. Ia tak menyerah, hanya memonyongkan bibir. Aku tertawa. Berusaha membantunya meminum susu hangat itu tanpa tumpah.
“Masak apa hari ini?” Tanyaku penasaran.
“Ada deh,” godanya. Aku berusaha tenang, berpura-pura tak tertarik pada jawabannya. Membuka panci yang telah dibakar api.
“Bisa bikin bubur ayam?” Tanyaku penasaran.
“Kalau nanti ketagihan, mau diapain?” Godanya lagi, sambil tertawa renyah. Ah, tawa itu yang pertama kali ku lihat saat perjumpaan pertama kami di Djogja dulu.
“Mau diapain coba?” Tantangku sambil mencubit pinggangnya. Membantunya menyiapkan beberapa peralatan makan.
Dapur ini terletak di luar rumah. Di belakang tepatnya. Beratap jerami. Bentuknya semacam gazebo. Terbuat dari bambu. Bangunan ini sengaja dibuatnya untuk memberikan pandangan yang luas pada halaman belakang rumah kami. Halaman yang dipenuhi dengan berbagai tanaman. Beberapa jenis sayur, tomat, cabai, beberapa pohon keras. Semuanya, adalah hasil dari tangan dinginnya. Jauh terlihat setelah pepohonan itu, tampak sawah terhampar luas.
Di dapur ini, tempat kreatifitasnya dimulai. Dimulai dari sebuah masakan. Masakan yang aku tahu akan menjadi favorit pengisi perut ku bertahun-tahun kemudian. Berawal dari kecintaannya pada tanaman. Yang membuat hidupku semakin teduh dan damai. Kalau syurga itu seindah batas pikiran masing-masing manusia, maka ku kira, ia sedang membangun syurganya di rumah ini. Yang paling menyenangkan, ia mengajakku untuk membuat syurga itu. Bersamanya,...
“Lho, piringnya kok cuma satu?” Ia mengerutkan dahi saat melihat hanya ada satu tempat untuk menampung bubur ayam yang dibuatnya.
“Kan makannya bubur,” Jawabku. Bahu dan alisnya mengangkat.
“Disuapin, dong,” Jawabku cuek, berusaha tak melihat matanya. Malu.
“Idih, manja,” Aku tertawa.
“Salah siapa masak bubur? Jadinya ya harus disuapin,” Kataku bersorak. Ia mengusap kepalaku sebelum melekatkan bibirnya di pipiku. Kecupan ini mengantakanku pada khayalan saat telephon-telephon panjang ritual kami, dulu. Saat ia berkeliling Indonesia. Ku rasa wajahku mulai berubah warna.
Pagi ini dan pagi-pagi selanjutnya akan menjadi awal yang menyenangkan untuk memulai hariku. Hari kami. Banyak tawa yang diciptakannya. Banyak senyum yang diulasnya. Banyak harapan dan semangat yang yang akan kujadikan bekal pada siang hingga menjelang sore, saat kami bertemu kembali.
Di siang hari, kami lebih banyak menjalani aktifitas kami masing-masing. Aku dengan kegiatan reportase atau kegiatan kampus yang mulai ku tekuri kembali. Dunia yang ku impikan, di mana aku merasa lebih hidup karenanya. Meski pada perkembangan selanjutnya, aku sadar juga menemukan hidup saat menjadi seseorang di sampingnya. Sementara dia, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menulis atau bercumbu dengan alam.
Ini akan berbeda saat pagi di hari sabtu dan minggu. Kami akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Menemaninya menulis atau pergi ke kebun. Atau juga pergi ke rumah orang tuanya yang kurasa, ini GRku, juga menyayangiku. Haha,.. atau juga lebih banyak sekedar jalan-jalan menyusuri sudut-sudut toko buku dan sejumlah komunitas.
Semua kegiatan itu, memberiku suasana berbeda. Menemaninya ke kebun misalnya, membuat aku semakin meng-hikmad-i kecintaannya pada bumi dan kehidupan yang sedang berjalan di atasnya. Menemaninya menulis, membuatku semakin menekuri kedalam hatinya, kejujuran rasanya bahkan keliaran otaknya menjelajahi dunia yang tertuang dalam kata dan frasa. Banyak ide yang orisinil keluar dari kepalanya. Meletup-letup, membuncah, memuncak, dan hingga meleleh pada kalimat-kalimat yang tercipta dari kelincahan sepuluh jarinya. Sementara pergi ke rumah mamah, banyak rahasia yang ku dapat tentang,… RAHASIA! Hahahahah….
Di suatu sore, entah kapan, aku melihatnya menunggu ku di depan pagar beluntas, rumah kami. Berkaos oblong tanpa lengan, bercelana pendek, bersendal jepit, tapi berkaca mata hitam. Rambutnya yang hitam ikal hampir menyentuh bahu, basah. Beberapa anaknya menutupi dahi, disapu angin.
Kalau Angelina Jolie mengatakan hanya Brad pitt yang bisa membuatya terjatuh dalam kubangan cinta, maka sore ini, jantungku berdesir. Seperti gadis SMP yang sedang melihat kakak kelas idolanya bermain basket di halaman sekolah atau memetik gitar dalam acara gelar seni. Apalagi, saat ia dengan sengaja membuka kaca matanya saat melihatku mendekat. Rasa yang begitu orisinil. Rasa yang terus ada seperti saat aku menyadari pertama kali telah jatuh cinta pada sebuah percakapan di telephon. Yang sebelumnya tak pernah ku percaya itu ada dan bisa.
Ia sudah berada di atas vespa. Memintaku segera naik. Aku yang baru saja datang tergopoh menaikkan sepeda ke dalam sebelum melompat ke boncengannya.
“Kumaha?” Tanyaku sambil menyusuri jalan berbatu depan rumah kami.
“Damang,” Jawabnya pendek.
“Maksudku, mau kemana?” Sambarku sambil nyengir. Ia tertawa mendengar pengakuan sok tahuku.
“Pacaran,” Jawabnya cuek. Sekali lagi, desir itu berhembus lembut di tampuk hati yang ikut bergoyang-goyang. Menembus sore di kota pertama propinsi ini. Atau pada sore berikutnya, berjalan di setapak pematang tanpa alas kaki. Atau pada sore lainnya, berlari kecil justru menjauh dari rumah, diantara derasnya rinai hujan.
“India banget,” Pernah suatu ketika ia menggerutu saat aku mengajaknya mandi air hujan. Tapi, ia tetap menikmatinya sambil menyiramku dengan Lumpur. Berlari menghindar saat aku hendak membalasnya.
Malam harinya, kami bersin bersama. Mengutuki sikap kekanak-kanakan sore tadi hingga menyebabkan kami flu. Tapi akan terulang pada musim hujan berikutinya. Haha…
Begitulah, hingga kembali bertemu di atas tempat tidur. Saling memandang, saling memeluk. Saling mengucap cinta dengan mata, dengan hati, dengan jiwa. Saling mengecup dengan rasa dengan hangat. Dan terlelap dalam peluk, dalam cinta. Hingga pagi menyapa atau justru ke surga,…
Minggu, 25 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar