Tuhan, aku datang menghadapMu.
Dengan seperangkat bom memeluk erat tubuhku,
yang tak sempat berontak luluhkan ragaku.
Serdadu-serdadu itu mengantarkan satu peluru.
Tenanglah, semua tak akan meledak di hadapMu hanya, jika Kau mengatakan Kun.
(Ah, aku terbiasa ditakuti meski mereka tak menyimakku dengan khusyu)
Tuhan, aku datang mengetuk pintuMu,
Dengan semangat heroisme yang tertulis dalam ayat-ayat suci.
Menegakkan tiang-tiang penegak hidup yang hampir roboh ditiup Kapitalisme.
(Ah, aku terbiasa dibenci meski bukan Nabi)
Tuhan, aku tak menyesal Kau sampaikan aku di dunia ambang, sore tadi.
Meski ku rasa masih ada yang belum selesai,
Belum pula sempat ku ucap maaf bagi syahid yang turut terenggut maut
bersama tentara-tentara pemimpi syurga privat.
Aku belum juga menggunakan hak jawabku
Pada kuli-kuli pemburu berita itu
Yang telah berselingkuh dengan artis-artis publikasi
pahlawan-pahlawan gadungan yang mengatasnamakan demokrasi.
Aku belum juga membuat konfrensi tandingan
Betapa syurga begitu indah jika dirasakan bersama,
tidak hanya mereka atau kita, tapi semua, semua.
Betapa mereka telah dibutakan senyum peradaban
Yang tercipta justru untuk menggusur kemanusiaan.
Ah, biarlah hak jawab itu ku sampaikan di hari perhitungan nanti.
Biarlah pledoi itu ku bacakan di pengadilanMu nanti.
Biarlah permohonan ampun ku haturkan di hadapanMu nanti.
Sekarang biarkanku terlelap, meski tergusur di tanah lahirku sendiri.
Minggu, 25 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar