Mengaji pada Sosok Pramudya
Berkali-kali ia "dibenamkan". Dalam Penjara jaman Orde Lama dan Orde Baru. Ia dinilai sejenis hantu, seperti virus. Seperti halnya ajaran Komunisme, Ia ditekan, bahkan "dibunuh" berkali-kali. Dijadikan "common enemy" oleh Orde Baru. Terakhir penderitaannya di tempat pembuangan biadab di Pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979).
Dalam wacana sastra Orde Baru, ia -seperti juga jutaan tapol lain di Indonesia- dianggap tak pernah ada. Ia tak pernah lahir, bernafas apalagi berkarya di Indonesia.
Tetapi, kegetiran yang dirasakannya justru dibalas dengan cara yang sangat beradab: melahirkan sejumlah karya gemilang. Menerbitkan sejumlah karya berkelas "sastra Nobel". Begitulah barangkali cara laki-laki kelahirlan Blora itu mengajarkan kebajikan kepada bangsanya.
Tak tampak satu pun kebencian pada bangsanya. Ketika ia harus makan bangkai tikus, cecak dan daging kuda yang terserang antrax, lamunannya justru melayang jauh ke jaman-jaman kegelapan sejarah bangsa Indonesia yang disembunyikan rapat-rapat oleh penguasa.
Ia tak mengeluh, hanya sesekali memaki, lewat sejumlah karyanya. Kecintaannya pada manusia Indonesia yang tersingkir, terkucil, jadi obyek, tapi tetap berupaya terus eksis begitu tinggi. Ia mencintai kemanusiaan begitu dalam Kita bisa melihat hal ini dari sejumlah karyanya mulai dari Perburuan, Keluarga Gerilya, Di Tepi Kali Bekasi hingga "tetralogi" Bumi Manusia.
Dan, disinilah letak kehebatannya. Semakin ditiadakan, ia semakin ada. Semakin eksis dalam ketiadaannya. Orang berebut membaca tulisan-tulisannya. Buku-buku karyanya yang selalu dilarang, laris seperti kacang goreng. Berkali-kali namanya disebut-sebut sebagai calon pemenang Nobel. Sejumlah lembaga sastra internasional juga mengangkatnya sebagai anggota kehormatan sebagai penghormatan atas dedikasinya pada dunia sastra.
Pramoedya Antanta Toer adalah sebuah fenomena anomali dalam bingkai politik Orde baru. Pram adalah seorang humanis tulen, sebagaimana sosok Multatuli yang dikaguminya habis-habisan.
Telaah:
Kalau Pram berjuang lewat kata dan karya yang begitu gemilang, aku masih bisa memahaminya. Sebab ia memang begitu dikotak dan dibuang, sehingga satu-satunya perjuangan yang disumbangkannya hanya sel-sel kelabu dalam otaknya yang begitu cair.
Tapi, apakah cara itu menjadi "efektif" ditengah-tengah sistem pemerintahan Indonesia yang dibikin "buta" dan "tuli", sementara tangan dan kaki kita tak terbelenggu oleh apapun? Jangankan yang hanya menghiba lewat kata, masyarakat yang menjerit lewat kelaparan, kemiskinan dan kebodohanpun tak pernah didengarkan.
Manusia-manusia tertindas yang begitu dicintai Pram itu, terus saja berkubang dalam ketiadaan.Di sisi lain, sudah terlalu banyak konsep dan teori untuk mengatasi semua masalah tanpa masalah. Kenyataannya?